7 Argumentasi Kenapa Haram Mengucapkan Salam Lintas Agama

Akhir-akhir ini MUI di "rujak" para pihak yang kegerahan dengan fatwa pengharaman MUI atas "salam lintas agama", yaitu salam dengan redaksi campur sari berbagai agama, dimana ada Shalom (Katolik), Om Swastiastu (Hindu), Namo Buddhaya (Buddha) dan Salam Kebajikan (Konghucu), setelah kalimat assalamu'alaikum (islam) .

Fatwa ini memancing beragama steatment resistensi, dari mulai pejabat, politisi, tokoh masyarakat, selebriti bahkan tokoh agama, beliau-beliau merasa jadi sasaran tembak oleh fatwa ini, karena mungkin kadung sudah membiasakan salam lintas agama, dan tetiba difatwakan haram.

Yang lebih sengit bahkan dari tokoh agama Islam sendiri yang dengan ironi menyerang lebih sengit daripada lainnya, yang tentu dengan narasi agama juga seperti kalimat, "masa hanya dengan mengucapkan kalimat salam lintas agama menyebabkan kita murtad, menyebabkan iman kita goyah dll.

Tidak sedikit juga yang dengan cerdik (kalau tidak boleh dikatakan licik) menyerang fatwa MUI dengan narasi Wahabi, radikal, intoleran dll.

Dengan tidak menerangkan secara ilmiah keterhubungan fatwa itu dengan diksi-diksi egatatif diatas.

Ditengah keprihatinan saya terhadap serangan -serangan tidak mendasar, tidak berdalil dan tidak imiah itu kepada MUl yang telah mengeluarkan fatwa dengan tulus, lurus semata-mata untuk menjaga aqidah umat.

Maka mohon izin saya menyampaikan 7 poin argumentasi saya dalam mendukung fatwa MUI atas pengharaman salam lintas agama dalam artikel ini. 


7 Argumentasi Kenapa Haram Mengucapkan Salam Lintas Agama

7 Argumentasi Kenapa Haram Mengucapkan Salam Lintas Agama

1. Pengucapan salam disemua agama adalah salahsatu bentuk ritus keagamaan bahkan beberapa agama redaksi salamnya adalah redaksi doa dan pujian yang spesifik, bukan hanya sapaan sosial internal agamanya. 

Contoh redaksi "Namo buddhaya" yang artinya "terpujilah Sang Budha". Itu redaksi jelas terang benderang doa pujian bagi Budha di agamanya. Yang jika diucapkan oleh seorang muslim yang dengan sadar dan tahu artinya redaksi diatas, tentu logika apapun itu adalah ucapan kesyirikan (penyekutuan Allah). 

Bagaimana tidak di shalat subuh dia melafalkan "qul huwallahu Ahad (Ucapankanlah, bahwa Allah esa) di pagi harinya saat upacara dia menyebut "terpujilah Sang Budha". Muslim seperti apa kita jika itu dilakukan? Tentu larangan melakukan hal diatas bisa diterima jika difikirkan dengan akal yang bening, fikiran yang jernih dan dengan hati yang bersemayam iman.

2. Walaupun tidak meyakini redaksi ("terpujilah sang Budha") diatas sebagai suatu pengakuan ketuhanan agama lain, maka harus diketahui bahwa dalam kondisi yang normal tanpa ada paksaan, para ulama tetap mengharamkannya. 

Sedikit saya ketengahkan kitab karya ulama klasik yang jadi kitab tasawuf dasar dan standar di Pesantren -pesantren di Indonesia yaitu kitab sulam taufiiq karangan Syaikh Sayyid Abdulah bin Husain bin Thahir, dimana beliau menulis di kitabnya sebagai berikut:

وقد كثر في هذاالزمان التساهل فى الكلام حتى انه يخرج من بعضهم الفاظ تخرجهم عن السلام ولا يرون ذلك ذنبا فضلا عن كونه كفرا

"Pada zaman ini banyak orang yang sembrono dalama berkata-kata. Sehingga yang diucapkan sungguh sungguh mengeluarkan dirinya dari agama islam, sementara dia sama sekali tidak pernah menganggap bahwa yang diucapkan itu dosa, apalagi dianggap kufur."

والردة ثلاثة اقسام اعتقادات وافعال واقوال

"Perbutan murtad terbagi menjadi tiga bagian:


1. MURTAD I'TIQOD (keyakinan dalam hati)
2. MURTAD FI'LIYAH (perbuatan)
3. MURTAD QOULIYAH (ucapan)"

Dari kitab yang jadi rujukan di hampir semua pesantren kaum nahdliyin itu, jelas bahwa ternyata murtad itu bukan hanya di ranah itiqod hati saja, tapi di ranah ucapanpun jika kita berucap walau tujuannya basa basi maka jika mengandung kesyirikan dan kekufuran itu terlarang.

Saya ketengahkan dalil ulama diatas, karena yang menyerang sengit MUI itu adalah tokoh yang mengaku "paling pesantren", maka saya yang tiap hari tiap malam ngajar kitab sulam taufiiq di Pesantren Daarul ihsaan yang saya asuh, mengajak para tokoh tersebut untuk kembali kepada kitab kuning, ke kitab klasik, kembali kepada pandangan para kiayi pesantren. Yang padahal dengan washilah itu semua anda sekarang jadi tokoh besar, tokoh hebat, dihormati, dihargai dan pada jadi pejabat.

3. Dalam sejarahnya 'salam' adalah sapaan akrab sehari-hari semua bangsa dunia, nyaris kita tidak menemukan ada budaya dan bangsa yang tidak punya 'salamnya' walau sesederhana sekedar mengucapkan Hai, hello, sugeng enjing, sampurasun, selamat pagi, salam semangat, salam sejahtera dan lain-lain, maka salam-salam diatas adalah salam netral yang saya kira jika para tokoh islam, pejabat islam, selebriti islam yang karena sudah merasa jadi tokoh lintas agama, jadi tidak PeDe dan sungkan mengucapakan "assalamu alaikum" maka redaksi-redaksi salam diatas bisa dipakai tanpa ada resiko masalah aqidah dan syari'ah seperti pengucapan salam lintas agama. Bahkan dijamin tidak akan ada resiko resistensi dari pihak manapun dan MUI pun tidak pernah mengharamkannya. 

Tentu poin ini bukan berarti saya menganjurkan kepada umat islam meninggalkan "assalamu'alaikum". Tapi subtansi poin ini adalah, "DARIPADA.."

4. Dari argumentasi kajian ilmiah terkait toleransi, dari sisi manapun kita membedahnya apakah kajian sosiologis, etis apalagi teologis kita tidak akan menemukan pijakan bahwa "orang dianggap toleran itu jika kita bisa ikut berucap redaksi agama-agama lain, bisa ikut beramal ritus agama-agama lain, atau minimal kita bisa berbasa-basi, atau berpura-pura, atau mengucapkan dengan adil semua salam agama". 

Saya tidak menemukan argumentasinya, mari setitik kita simak definisi toleran menurut Diane Tillman, seorang pakar dunia di bidang pendidikan nilai, beliau mendefinisikan toleransi adalah, "sikap saling menghargai, melalui pengertian dengan tujuan kedamaian." 

Simak juga pengertian toleransi menurut KBBI, "toleransi adalah sifat atau sikap toleran, adapun makna dari toleran sendiri adalah bersifat atau bersikap menghargai, membiarkan, membolehkan kepercayaan orang lain..."

Dari definisi diatas toleransi itu tidak menuntut kita mengamalkan ajaran agama orang lain, sebaliknya penganut agama lain juga tidak boleh kita tuntut untuk mengamalkan agama kita.

Toleransi itu cukup berdampingan dengan cinta damai dalam perbedaan.

5. Secara kajian psikologis, sudah fitrah kemanusiaan bahwa mayoritas para pemeluk agama (bukan hanya islam) yang pasti meyakini kebenaran agamanya, akan tidak nyaman jika ia diharuskan, dianjurkan, diintruksikan atau sekedar diminta dibudayakan saling mengikuti ritual agama lain, saling mengucapkan salam, doa dan pujian agama lain. 

Poin ini bukan perasaan saya saja yang tentu subjektif sebagai seorang muslim. Tapi opini ini hasil saya ngobrol dengan tetangga-tetangga saya yang baik dari agama Kristen di komplek Griya Asri Cahaya Cipageran kota Cimahi, tempat saya tinggal. Mareka sama tidak nyaman, tidak setuju bahkan berpendapat bahwa toleransi itu tidak harus sebegitu berpura-pura dan berbasa-basi berlebihan begitu.

6. Sunatullah (hukum alam), Pelangi itu indah jika terdiri dari berbagai warna berbeda yang berdampingan, akan jadi tidak indah jika dalam pelangi itu merah meminta biru jadi merah, tidak akan indah jika jingga meminta hijau jadi jingga, tidak akan indah jika kuning memaksa ungu untuk jadi kuning. 

Jika ingin selalu indah biarkan biru jadi biru, kuning jadi kuning, merah jadi merah, hijau jadi hijau. Yang penting dengan warna-warna berbeda itu mereka tetap berdampingan. Hukum alam lainnya di dunia hewan, biarkan Bebek berucap "wek wek", Kambing berucap " Embee", sapi berucap "mmooh" dan ayam "berptok ptok". Tentu tidak bijak kita menuntut sapi berucap " Wek wek", Dst. 

Maka keindahan alam itu berlaku juga pada manusia karena kita bagian penghuni alam ini. Biarkan perbedaan alami dengan sendirinya dalam balutan toleransinya.

7. Argumentasi terakhir ini khusus kepada para pihak yang menyerang MUI, saya hanya ingin menyampaikan bahwa MUI yang terdiri dari para ulama, yang jelas definisi ulama dalam Alquran adalah orang yang hanya takut kepada Allah (QS: Fatir/35:28), maka saya kira MUI sudah tahu resiko fatwa ini, karena yang akan merasa tersinggung adalah para elit dari berbagai kalangan di negeri ini, tapi ketakutannya kepada Allah dan ketulusannya dalam menjaga akidah umat, mengalahkan akan kekhawatiran atas resiko dan implikasi dari fatwa ini. 

Tapi kabar kembiranya bagi anda yang kontra dengan fatwa MUI ini adalah, MUI tidak akan memaksakan siapapun untuk mengikuti fatwa MUI ini, jika anda bisa menerima dan melaksanakan fatwa ini alhamdulillah, tidak pun tidak apa-apa. kewajiban MUI hanya membuat fatwa apa adanya, dari ajaran islam dan menyampaikan ke umat islam. mau umat mengikuti atau tidak itu urusan pribadi-pribadinya dengan Allah. 

MUI tidak akan mengerahkan aparat untuk memaksa siapapun untuk patuh pada fatwanya, MUI tidak akan melaporkan siapapun ke polisi. Justru sebaliknya mungkin dengan fatwa ini malah MUI yang beresiko dilaporkan, di penjara bahkan di bubarkan lembaganya.

Sebaliknya MUI pun tidak akan memberikan sembako bagi yang patuh pada fatwanya, MUI tidak akan memberikan amplop bansos, bpjs, askes, raskin atau KIP bagi siapapun yang patuh pada fatwanya.

Sekali lagi MUI membuat fatwa atas kewajibannya pada perintah Allah dan kewajibannya menjaga akidah umat islam, bagi siapapun yang patuh pada fatwa MUI ini, hanya Allah yang akan memberi ketenangan, kebarokahan dunia akhirat, bagi siapapun yang tidak ikut dan tidak menerima fatwa MUI itu juga silahkan karena pada akhirnya setiap kita urusannya dengan Allah dalam mempertanggung jawabkan setiap inci pilihan-pilihan hidup kita di dunia fana ini.

Itu saja barangkali 7 argumentasi saya dalam menyetujui dan ikut mendukung fatwa MUI terkait haramnya salam lintas agama. Semoga bisa dicerna dan difahami dengan hati yang bersih. Dan tentu tulisan diatas dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada yang berbeda pendapat.

-------------------------
Rilis WA Ajengan Aef Cimahi (Ustadz Saefudin Abdul Fattah), Pengasuh Pesantren Daarul Ihsaan) 085221287047.
Deni Kurnia
Deni Kurnia Seorang Pembelajar, tak Lebih