Tradisi Salah dalam Melayat Ahli Mayat (Ta'ziyah)
Ta'ziyah artinya melayat, melayat orang yang ditinggalkan orang meninggal atau ahli mayat. Melayat ahli mayat itu sunat dalam tiga hari sesudah ia meninggal dunia, yang lebih baik ialah sebelum dikuburkan.
Apa tujuan melayat (Ta'ziyah) itu? Tujuan melayat ialah untuk menganjurkan ahli mayat supaya sabar, jangan berkeluh-kesah, mendoakan mayat supaya mendapat ampunan, dan juga supaya malapetaka itu berganti dengan kebaikan.
Sabda Rasulullah Saw.:
Dari Usamah. Ia berkata, "Seorang anak perempuan Rasulullah Saw. telah memanggil beliau serta memberitahukan bahwa anaknya dalam keadaan hampir mati. Rasulullah Saw. berkata kepada utusan itu, Kembalilah engkau kepadanya, dan katakan bahwa segala yang diambil dan yang diberikan-bahkan apa pun-kepunyaan Allah. Dialah yang menentukan ajalnya, maka suruhlah ia sabar serta tunduk kepada perintah'." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Anjuran Memberi makan ahli mayat
Kaum kerabat, tetangga, sahabat, dan handai tolan mayat hendaklah memberi makan keluarga (ahli) mayat karena mereka sedang dalam keadaan kalut, belum sempat mengurus makanan mereka sendiri.
Sabda Rasulullah Saw.:
Dari Ubaidillah bin Ja'far. Ia berkata, "Tatkala datang kabar meninggalnya Ja'far karena terbunuh, Rasulullah Saw. bersabda, "Buatkanlah olehmu makanan untuk keluarga Ja'far, karena mereka sedang menderita kesusahan (kekalutan)." (Riwayat lima orang ahli hadis, kecuali Nasai)
Itulah yang disyariatkan dalam agama Islam, bukan sebagaimana yang umumnya dilakukan oleh masyarakat.
Tradisi Salah dalam Melayat Ahli Mayat (Ta'ziyah)
Bagaimana pelaksanaan Ta'ziyah di Indonesia? Kita sering melihat tradisi di masyarakat ketika ada yang meninggal, semua tetangga, sahabat yang dekat atau yang jauh, keluarga, teman, dan orang sekampung datang beramai-ramai berkumpul di rumah ahli mayat untuk makan-makan.
Karena tradisi tersebut, ahli mayat terpaksa menyediakan makanan yang bermacam-macam, biarpun sampai menghabiskan harta peninggalan si mayat. Bahkan kalau kurang, hartanya sendiri dihabiskan pula.
Kadang-kadang orang yang datang di tempat kematian itu sepanjang hari tidak perlu berbelanja lagi karena keperluannya sudah ditanggung oleh orang yang sedang bersedih dan berdukacita karena kehilangan anak atau bapak yang dicintainya.
Selain dari "perayaan" pada hari matinya itu, diadakan pula "selamatan' untuk makan-makan pada hari ketiga dari hari meninggalnya, hari ketujuh, kesepuluh, empat puluh, seratus, dan seterusnya.
Kesedihan itu selalu diperbarui, dan kerugian selalu ditambah-tambah. Semua itu hukumnya haram, tidak diizinkan oleh agama Islam yang mahasuci, lebih-lebih kalau ahli mayat itu ada yang belum sampai umur (belum balig).
Dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali. Ia berkata, "Berkumpul-kumpul pada ahli mayat serta membuat makanan sesudah mayat dikubur kan, kami anggap sebagian dari meratap (sama hukumnya dengan merata, yaitu haram)." (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
Coba Fikirkan
Memang, kalau kita renungkan lebih jauh serta kita pikirkan dengan pikiran yang sehat dan tenang, alangkah sedihnya ahli mayat; sesudah ia kehilangan anak, buah hatinya, atau kehilangan bapak pemegang kemudi hidup dan penghidupannya, hartanya dihabiskan pula. Kalau tidak mengikuti kehendak adat, ia tercela di mata kaum adat yang berpikiran tidak sehat itu.
Wallahu a'lam.
Bacaan: Buku Fiqih Islam, karya KH Sulaiman Rasjid