Dalil Bolehnya Merayakan Maulid dan Orang Pertama yang Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW
Membantah pendapat di atas, Al-'Allamah Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahulLaah menyatakan bahwa Maulid Nabi Muhammad saw. bukanlah hari raya. Maulid Nabi Muhammad saw. sesungguhnya jauh lebih agung dan lebih mulia daripada dua hari raya umat Islam, yakni Idul Fitri dan Idul Adha (Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 10-11).
Pasalnya, kata beliau, “Andai tak ada kelahiran Nabi Muhammad saw., tentu tak akan pernah ada bi'tsah (pengutusan Muhammad saw. sebagai rasul kepada manusia); tidak akan turun al-Quran; tidak akan ada Peristiwa Isra' Mikraj; tidak akan ada Hijrah: tidak akan ada kemenangan dalam Perang Badar; juga tak akan ada Penaklukan Kota Makkah. Sebabnya, semua itu berkaitan dengan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad saw.
Artinya, Maulid Nabi Muhammad saw. adalah sumber segala kebaikan yang sangat besar.” (Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 13).
Jika demikian, pertanyaannya: Adakah dalil atas Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw.?
Terkait pertanyaan di atas, Al-'Allamah Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahulLaah mengemukakan sejumlah dalilnya. Namun demikian, sebelum beliau memaparkan sejumlah dalil tentang kebolehan Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw., beliau menyatakan 4 hal. Tiga hal di antaranya sbb:أنا احتفل(بالمولد النبوي الشريف) لأني مسرور و فرح به صل الله عليه وسلم، و أنا مسرور و فرح به صل الله عليه وسلم لأني محب له صل الله عليه وسلم وأنا محب له صل الله عليه وسلم لأني مؤمن.
Saya merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. karena saya gembira dan bahagia atas kelahiran beliau. Saya gembira dan bahagia atas kelahiran beliau karena saya mencintai beliau. Saya mencintai beliau karena saya seorang Mukmin (Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 13).Beliau menambahkan:
أننا نعتنى بالاحتفال (بالمولد النبوي الشريف) الاجتماع لسماع سيرته والصلاة والسلام عليه وسماع المدائح التي تُقال في حقه، وإطعام الطعام وإدخال السرور على قلوب المحبين.
Sesungguhnya yang saya maksud dengan Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. adalah pertemuan besar kaum Muslim untuk mendengarkan Sirah (Perjalanan Hidup) Nabi Muhammad saw., mendengar ragam pujian kepada beliau yang memang layak dan pantas untuk beliau; sekaligus (dalam pertemuan tersebut) ada penyajian makanan (untuk kaum Muslim) dan upaya untuk menggembirakan para pecinta beliau(Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 13-14).Beliau juga menyatakan:
أن هذه الاجتماعات هي وسيلة كبرى للدعوة إلى الله ، وهي فرصة ذهبية لا تفوت ، بل يجب على الدعاة والعلماء أن يذّكروا الأمة بالنبي صلّىالله عليه وسلّم بأخلاقه وآدابه وأحواله وسيرته ومعاملته وعبادته...Sesungguhnya pertemuan-pertemuan seperti ini (dalam rangka Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw., pen.). adalah wasilah (sarana) yang sangat besar bagi dakwah (untuk mengajak umat manusia) kepada Allah SWT. Ini adalah kesempatan emas yang tak boleh dibiarkan luput begitu saja. Bahkan wajib bagi para da'i dan para ulama untuk senantiasa mengingatkan umat ini akan Baginda Nabi Muhammad saw.; terkait akhlak, adab dan perilaku beliau; juga perjalanan hidup (terutama perjuangan dakwah), muamalah dan ibadah beliau..._ (Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 14-15).
Jika memang demikian alasannya, pertanyaan berikutnya: Siapa yang pertama kali merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.?
Jawabannya, masih menurut Al-'Allamah Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani rahimahulLaah:
إن أول المحتفلين بالمولد هو صاحب المولد و هو النبي صل الله عليه و سلم كما جاء في حديث صحيح رواه مسلم: *لما سئل عن صيام يوم الإثنين، قال: ذاك يوم ولدت فيه.* فهذا أصح و أصرح نص في مشروعية الإحتفال بالمولد النبي الشريف.
Sesungguhnya yang pertama kali mengadakan Perayaan Maulid adalah Pemilik Maulid itu sendiri, yakni Baginda Nabi Muhammad saw. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis shahih riwayat Imam Muslim:Saat Nabi Muhammad saw. ditanya tentang shaum setiap Hari Senin, beliau menjawab, "Hal itu karena Hari Senin adalah hari yang di dalamnya aku dilahirkan." (HR Muslim).
Hadis ini adalah nas yang paling shahih dan paling jelas tentang pensyariatan kebolehan Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw.(Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 16).
Untuk menguatkan pendapatnya, Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani lalu menukil penjelasan Imam al-Hafizh Jaluddin as-Suyuthi rahimahulLaah sbb:
Saya melihat Imamul Qurra’, Al-Hafizh Syamsuddin al-Jazari, berkata dalam kitab beliau yang berjudul, Urf at-Ta’riif bi al-Mawlid asy-Syariifi, dengan teks sebagai berikut:Telah diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan kepada dia, “Bagaimana keadaanmu?” Dia menjawab, “(Aku) ada di dalam neraka. Hanya saja, diringankan atas diriku siksaan setiap malam Senin. Hal ini karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika dia menyampaikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan karena dia telah menyusuinya.”
Jika Abu Lahab yang kafir ini--yang telah dicela oleh al-Quran ditetapkan sebagai ahli neraka--diringankan siksaannya dengan sebab kegembiraannya karena kelahiran Nabi Muhammad saw., maka bagaimana lagi keadaan seorang Muslim dari kalangan umat beliau yang bertauhid, yang bergembira dengan kelahiran beliau dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau?! Saya bersumpah, tidak ada balasan dari Allah Yang Maha Pemurah kecuali Dia akan memasukkan dirinya ke dalam surga.” (Sayyid Muhammad bin 'Alawi al-Maliki al-Hasani, Hawla al-Ihtifaal bi Dzikr al-Mawlid an-Nabawi asy-Syariifi, hlm. 18).
Alhasil, cukuplah dalil (bukti) cinta kita kepada Baginda Nabi Muhammad saw. menjadi alasan tentang kebolehan Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw., sekaligus menjadi alasan mengapa kita bergembira dan berbahagia merayakan maulid (kelahiran) beliau.
WalLaahu a'lam bi ash-shawwaab.