Hukum Tambahan Uang dalam Pelunasan Hutang, antara yang Boleh dan yang Dilarang
Misal, ada seseorang yang meminjam sejumlah uang kepada Anda, kita sebut saja 3 juta rupiah. Kemudian dia membayar hutang tersebut pada waktu yang telah ditentukan sesuai akad. Namun, selain pokok hutang sebesar 3 juta, ia juga memberikan tambahan lima ratus ribu, sebagai ungkapan terima kasih kepada Anda. Tambahan uang tersebut tidak dijanjikan pada waktu akad peminjaman, juga tidak Anda syaratkan.
Mengenai status uang tambahan yang sebesar lima ratus ribu, yang diberikan bersama pelunasan hutang pinjaman, kita akan sedikit bingung, apakah boleh diterima ataukah dilarang.
Untuk kepastian pegangan hukum dari masalah tersebut, ada baiknya kita membaca sampai tuntas penjelasan seorang kiayi, yakni KH Shiddiq Al Jawi. Semoga ini menjadi kepastian kita dalam menentukan hukum tambahan pembayaran pinjaman, yang tidak diakadkan sebelumnya.
Hukum tambahan uang dalam pembayaran pinjaman, yang tidak diakadkan sebelumnya
Hukum uang tambahan tersebut ada rincian (tafshiil) menurut syariah sebagai berikut:
Pertama, jika sebelum akad utang-piutang dia tidak pernah memberi hadiah atau yang semisalnya kepada Anda, maka uang Rp 500 ribu itu haram karena riba.
Kedua, jika sebelum akad utang-piutang dia sudah pernah memberi hadiah atau yang semisalnya kepada Anda, maka uang Rp 500 ribu itu boleh diterima karena bukan riba. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 339-340).
Dalilnya adalah beberapa hadis Nabi SAW berikut, di antaranya :
Pertama, dari Yahya bin Abi Ishaq, dia berkata,”Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik RA mengenai seorang laki-laki dari kami yang memberi pinjaman (qardh) kepada saudaranya berupa harta, lalu saudaranya itu memberikan hadiah kepadanya. Berkatalah Anas bin Malik RA,’Telah bersabda Rasulullah SAW,’Jika salah seorang kamu memberikan suatu pinjaman (qardh) lalu (penerima pinjaman) itu memberikan hadiah kepadanya, atau dia menaikkannya ke atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula dia menerima hadiah itu. Kecuali hal itu sudah pernah terjadi antara dia dengan dia sebelumnya.” (HR Ibnu Majah, no 2432; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1088).
Kedua, dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda,”Jika seseorang memberi pinjaman maka janganlah dia mengambil hadiah.” (idzaa aqradha fa-laa ya`khudz hadiyyatan). (HR Bukhari, dalam kitab Tarikh-nya. Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1088).
Ketiga, dari Abu Bardah bin Abu Musa, dia berkata,”Aku datang ke kota Madinah lalu aku bertemu dengan Abdullah bin Salam kemudian dia berkata kepadaku,’Sesungguhnya kamu berada di suatu tempat yang riba di dalamnya sangat parah, maka jika kamu mempunyai hak (piutang) pada seorang laki-laki, lalu dia memberimu sepikul jerami (himla tibn) atau sepikul jewawut (himla sya’iir) atau sepikul rumput makanan ternak (himla qatt), maka janganlah kamu mengambilnya karena itu riba.” (HR Bukhari, dalam Shahih Al Bukhari, no 3814). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1088).
Imam Syaukani menjelaskan hadits-hadist di atas dengan berkata,”Walhasil, jika hadiah atau peminjaman barang (‘ariyah) dan semisalnya, adalah karena utang, atau karena suap kepada pemberi utang, atau agar pemberi utang mendapat manfaat dari utang yang diberikannya, maka hadiah itu adalah haram karena termasuk riba atau suap (risywah).
Pertama, jika sebelum akad utang-piutang dia tidak pernah memberi hadiah atau yang semisalnya kepada Anda, maka uang Rp 500 ribu itu haram karena riba.
Kedua, jika sebelum akad utang-piutang dia sudah pernah memberi hadiah atau yang semisalnya kepada Anda, maka uang Rp 500 ribu itu boleh diterima karena bukan riba. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz II, hlm. 339-340).
Dalilnya adalah beberapa hadis Nabi SAW berikut, di antaranya :
Pertama, dari Yahya bin Abi Ishaq, dia berkata,”Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik RA mengenai seorang laki-laki dari kami yang memberi pinjaman (qardh) kepada saudaranya berupa harta, lalu saudaranya itu memberikan hadiah kepadanya. Berkatalah Anas bin Malik RA,’Telah bersabda Rasulullah SAW,’Jika salah seorang kamu memberikan suatu pinjaman (qardh) lalu (penerima pinjaman) itu memberikan hadiah kepadanya, atau dia menaikkannya ke atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula dia menerima hadiah itu. Kecuali hal itu sudah pernah terjadi antara dia dengan dia sebelumnya.” (HR Ibnu Majah, no 2432; Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1088).
Kedua, dari Anas bin Malik dari Nabi SAW, beliau bersabda,”Jika seseorang memberi pinjaman maka janganlah dia mengambil hadiah.” (idzaa aqradha fa-laa ya`khudz hadiyyatan). (HR Bukhari, dalam kitab Tarikh-nya. Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1088).
Ketiga, dari Abu Bardah bin Abu Musa, dia berkata,”Aku datang ke kota Madinah lalu aku bertemu dengan Abdullah bin Salam kemudian dia berkata kepadaku,’Sesungguhnya kamu berada di suatu tempat yang riba di dalamnya sangat parah, maka jika kamu mempunyai hak (piutang) pada seorang laki-laki, lalu dia memberimu sepikul jerami (himla tibn) atau sepikul jewawut (himla sya’iir) atau sepikul rumput makanan ternak (himla qatt), maka janganlah kamu mengambilnya karena itu riba.” (HR Bukhari, dalam Shahih Al Bukhari, no 3814). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1088).
Imam Syaukani menjelaskan hadits-hadist di atas dengan berkata,”Walhasil, jika hadiah atau peminjaman barang (‘ariyah) dan semisalnya, adalah karena utang, atau karena suap kepada pemberi utang, atau agar pemberi utang mendapat manfaat dari utang yang diberikannya, maka hadiah itu adalah haram karena termasuk riba atau suap (risywah).
Adapun jika hadiah itu karena sudah menjadi kebiasaan antara pemberi pinjaman (muqridh) dan penerima pinjaman (mustaqridh) sebelum akad utang-piutang, maka tidak mengapa [boleh hukumnya].” (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm. 1089).