Aku, Si Aki, dan Secangkir Kopi Kapal Api
Aku, si Aki, dan Secangkir Kopi Kapal Api. Lagi-lagi bicara tentang kopi. Seakan tak habis membahas tentang kopi dan aneka cerita yang menyertainya. Selalu ada hal yang menarik yang ada di sekitar kita. Tapi, afwan menyebut merk kopi, untuk kepentingan pengiklan adsense😃.
Cerita tentang kopi sudah saya share sebelumnya, ada di artikel "Ngopi di Kedai qKopi Hanna", Tapi kali ini ceritanya lain lagi.
Pulang dari RSUD Sayang Cianjur, "menemui" seorang dokter spesialis. Lewat di sebuah ruas jalan komplek pertokoan grosir, tak kuat untuk singgah di sebuah kedai kopi sederhana. Seperti biasa, pesan segelas kopi hitam, ngobrol dengan siapapun yang ada di hadapan, sok kenal sok dekatlah.
Namun ada pemandangan yang membuatku tak melepaskan pandangan. Seorang lelaki paruh baya dengan rambut agak panjang dan beruban, dengan sigapnya hilir mudik memanggul barang-barang dari toko, menyimpannya di mobil pembeli. Usia boleh tua, tapi tenaganya masih luar biasa.
Ketika rehat, sekalian diajak ngopi bareng. Si Aki ini bercerita tentang pekerjaannya sebagai kuli panggul, sejak toko itu dibuka sekitar 10 tahun ke belakang. Ia setia tak berpindah tempat kerja. Ia menikmati pekerjaannya sebagai tukang panggul, sebuah pilihan karena tak terbuka pilihan lain bagi dia yang hanya tamatan sekolah rendah.
Sebenarnya ingin berlama-lama larut dalam alur cerita dia, kesemangatan dia dalam bekerja, totalitas dan loyalitas. Namun karena kopi sudah habis dan ada amanah lain yang menunggu ditunaikan, akhirnya obrolan pun usai.
Apakah pertemuan dengan Si Aki bermakna bagi Anda?
Jawaban bisa beraneka ragam. Sebuah cerita tak penting, mungkin. Namun setidaknya kita bisa mengambil pelajaran, antara lain:
1. Siapapun berani dan mau memiliki pekerjaan yang secara duniawi mendatangkan penghasilan tinggi.
Namun jika takdir Allah mengharuskan hanya mendapatkan pekerjaan seperti si Aki, masih mau dan sanggupkah menjalaninya dengan penuh kerelaan?
2. Orang berpangkat, atau yang memiliki kekayaan luar biasa, secara awam dianggap orang terhornat.
Namun masihkah mampu hati kita menganggap orang-orang seperti si Aki, yang menjalani beratnya hidup dengan penuh penerimaan, sebagai orang terhormat? Padahal kebanyakan pejabat yang dianggap terhormat, mungkin pernah berlaku korup.
Maka dengan tulisan sederhana ini sebenarnya saya sedang mengingatkan diri sendiri, bahwa terhormatnya seseorang bukan diukur dari kekayaan, ketampanan, kecantikan, ataupun jabatan. Yang terhina di mata manusia, bisa jadi mulia di hadapan Allah Ta'ala, tersebab ketakwaannya. Atau sebaliknya, terhormat di mata manusia, mungkin hina di mata Allah Ta'ala tersebab kemaksiatannya.
Itulah cerita Aku, Si Aki, dan Secangkir Kopi Kapal Api😀
Wallahu a'lam.