Ketika Tak Ada HP, Pembelajaran Daring Tetap Dilakukan?
Seorang ibu datang ke sekolah, tergopoh-gopoh sambil menggendong bayinya yang kira-kira berumur 6 bulan. Ketika ditanya hendak menemui siapa, beliau menjawab, mau bertemu dengan wali kelas 8F. Kebetulan wali kelas 8F itu adalah saya sendiri. Si ibu berbicara panjang lebar, yang intinya adalah bahwa di keluarganya tidak ada yang memiliki smartphone yang digunakan untuk pembelajaran online. Beliau memperlihatkan sebatang HP jadul, yang hanya bisa untuk menelepon dan SMS.
Saya katakan kepada beliau untuk menggunakan HP jadul tersebut dalam pembelajaran daring. Caranya? Saya kirim SMS untuk penugasan, dan anaknya mengirim jawaban melalui pesan SMS juga. Atau saya telepon anaknya, ketika memerlukan jawaban langsung dalam pembelajaran.
Sepertinya, jawaban saya tadi sedikit menenangkan kegalauan si ibu. Akhirnya beliau pulang dan anaknya memulai pola baru pembelajaran.
Itulah sepenggal fragmen pembelajaran pola baru di SMPN 1 Mande, yang kini “dipaksa” bergeser ke pola digital.
Ketika kabinet pemerintahan di negeri ini terbentuk, insan pendidikan menyoroti satu sosok yang memegang kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Wajar, sebab tokoh kunci di dunia pendidikan ini bukanlah seseorang yang bergelut di dunia pendidikan formal. Beliau adalah Mas Nadiem Makarim, seorang bos perusahaan transportasi berbasis online, yang menjadi menteri.
Mungkin pertanyaannya, mengapa sosok beliau menjadi sorotan? Sejumlah kebijakannya, yang berupaya menggeser pola pendidikan kea rah digitalisasi, adalah satu hal yang menjadi jawaban pertanyaan tadi. Pendidikan berbasis digital, begitulah saya menyebutnya.
Bagi kita itu tidak menjadi sebuah permasalahan. Dunia sudah bergeser ke arah digital. Pembayaran apapun sudah banyak dilakukan tidak secara tunai, alias secara digital.
Dengan dinamika ini, dunia pendidikan pun harus menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perkembangan ini. Pembelajaran yang monoton, tanpa inovasi, akan kalah pamor dengan bidang lain yang sudah lebih dulu mengekplorasi segala inovasi. Contoh nyata, siswa lebih bisa menikmati tayangan Youtube dibanding mendengar ceramah guru.
Pemanfaatan dunia digital dalam pendidikan, memang sangat diperlukan. Untuk merealisasikannya, Mas Nadiem dan jajarannya tentu harus secara matang dalam mempersiapkan segalanya, dengan segala pertimbangan demografis, geografis, dan lain-lain.
Tapi ternyata ada skenario lain yang terjadi. Indonesia, salah satunya, dihantam pandemi Covid-19, yang memaksa siapapun untuk membatasi segala macam interaksi secara ragawi. Bahkan pembatasan ketat di sejumlah daerah dilakukan, sesuai kategori zona, termasuk di dunia pendidikan. Segala bentuk tatap muka tidak diperkenankan, yang memaksa pola pembelajaran harus diganti dengan pola baru. Tentu ini terlalu cepat untuk terjadi.
Jujur, kita belum semuanya siap untuk melaksanakan pembelajaran secara online. Masih banyak hal yang menghambat kelancaran pola tersebut. Ada sejumlah hambatan, baik itu hambatan psikologis, demografis, maupun geografis. Dan semua itu harus diatasi secara bijak.
Hambatan psikologis, ketika siswa dan guru sudah merasa dan terbiasa nyaman dengan pembelajaran secara tatap muka, akan ada penyesuaian yang cukup memakan waktu ketika harus bergeser ke pola non tatap muka. Begitu juga secara demografis, kondisi siswa di pedesaan tidak bisa disamakan dengan yang berada di perkotaan dalam hal pemilikan dan penguasaan sarana teknologi. Daya dukung untuk melaksanakan digitalisasi pembelajaran di sebagian besar wilayah negeri ini juga masih lemah.
Kelemahan daya dukung di sisi siswa (dan orang tua) antara lain:
1. Keterbatasan pemilikan HP/gadget/smartphone dan pengoperasiannya
2. Keterbatasan daya beli kuota data
Dua hal di atas sedikitnya tergambar dari percakapan saya dengan si ibu tadi. Di satu sisi, kita melihat kesungguhan untuk mengikuti pembelajaran, dan di sisi lain ada hambatan yang menghalangi kesemangatan itu.
Walaupun ada sejumlah hambatan, the show must go on, pembelajaran walau secara daring harus tetap dilakukan, ketika tatap muka tidak diizinkan.
Ide-ide kreatif untuk menyiasati hambatan-hambatan di atas bermunculan. Seperti di sekolah kami, dan juga mungkin di sekolah lain, ada sejumlah “jurus” yang dilakukan. Misal:
- Siswa tidak memiliki HP Android, maka solusinya dengan pesan singkat, telepon, atau ikut kepada teman yang memiliki., dan informasi penugasan dan lain sebagainya bisa diakses melalui website resmi sekolah.
- Bagi yang memiliki smartphone, jalur pembelajaran daring tidak dilakukan hanya dengan satu mode, namun dengan memanfaatkan beberapa layanan seperti WhatsApp, Google Classroom, Zoom, dan Facebook.
- Bagi guru yang belum memahami teknis pembelajaran online, diadakan In House Training (IHT), dan langkah selanjutnya diadakan beberapa kali simulasi penerapannya.
Idealisme penerapan pembelajaran daring, belum sesuai dengan kenyataan. Namun, sedikit demi sedikit langkah yang diambil semua insan pendidikan untuk menyongsong era baru digitalisasi dalam pembelajaran, adalah ikhtiar yang cemerlang.
Bukankah bisa itu awalnya karena dipaksa?
Semoga kita bisa mempersembahkan pendidikan yang terbaik untuk generasi bangsa, seberat apapun halangan dan rintangannya.
Saya katakan kepada beliau untuk menggunakan HP jadul tersebut dalam pembelajaran daring. Caranya? Saya kirim SMS untuk penugasan, dan anaknya mengirim jawaban melalui pesan SMS juga. Atau saya telepon anaknya, ketika memerlukan jawaban langsung dalam pembelajaran.
Sepertinya, jawaban saya tadi sedikit menenangkan kegalauan si ibu. Akhirnya beliau pulang dan anaknya memulai pola baru pembelajaran.
Itulah sepenggal fragmen pembelajaran pola baru di SMPN 1 Mande, yang kini “dipaksa” bergeser ke pola digital.
Ketika kabinet pemerintahan di negeri ini terbentuk, insan pendidikan menyoroti satu sosok yang memegang kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Wajar, sebab tokoh kunci di dunia pendidikan ini bukanlah seseorang yang bergelut di dunia pendidikan formal. Beliau adalah Mas Nadiem Makarim, seorang bos perusahaan transportasi berbasis online, yang menjadi menteri.
Mungkin pertanyaannya, mengapa sosok beliau menjadi sorotan? Sejumlah kebijakannya, yang berupaya menggeser pola pendidikan kea rah digitalisasi, adalah satu hal yang menjadi jawaban pertanyaan tadi. Pendidikan berbasis digital, begitulah saya menyebutnya.
Bagi kita itu tidak menjadi sebuah permasalahan. Dunia sudah bergeser ke arah digital. Pembayaran apapun sudah banyak dilakukan tidak secara tunai, alias secara digital.
Dengan dinamika ini, dunia pendidikan pun harus menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perkembangan ini. Pembelajaran yang monoton, tanpa inovasi, akan kalah pamor dengan bidang lain yang sudah lebih dulu mengekplorasi segala inovasi. Contoh nyata, siswa lebih bisa menikmati tayangan Youtube dibanding mendengar ceramah guru.
Pemanfaatan dunia digital dalam pendidikan, memang sangat diperlukan. Untuk merealisasikannya, Mas Nadiem dan jajarannya tentu harus secara matang dalam mempersiapkan segalanya, dengan segala pertimbangan demografis, geografis, dan lain-lain.
Tapi ternyata ada skenario lain yang terjadi. Indonesia, salah satunya, dihantam pandemi Covid-19, yang memaksa siapapun untuk membatasi segala macam interaksi secara ragawi. Bahkan pembatasan ketat di sejumlah daerah dilakukan, sesuai kategori zona, termasuk di dunia pendidikan. Segala bentuk tatap muka tidak diperkenankan, yang memaksa pola pembelajaran harus diganti dengan pola baru. Tentu ini terlalu cepat untuk terjadi.
Jujur, kita belum semuanya siap untuk melaksanakan pembelajaran secara online. Masih banyak hal yang menghambat kelancaran pola tersebut. Ada sejumlah hambatan, baik itu hambatan psikologis, demografis, maupun geografis. Dan semua itu harus diatasi secara bijak.
Hambatan psikologis, ketika siswa dan guru sudah merasa dan terbiasa nyaman dengan pembelajaran secara tatap muka, akan ada penyesuaian yang cukup memakan waktu ketika harus bergeser ke pola non tatap muka. Begitu juga secara demografis, kondisi siswa di pedesaan tidak bisa disamakan dengan yang berada di perkotaan dalam hal pemilikan dan penguasaan sarana teknologi. Daya dukung untuk melaksanakan digitalisasi pembelajaran di sebagian besar wilayah negeri ini juga masih lemah.
Kelemahan daya dukung di sisi siswa (dan orang tua) antara lain:
1. Keterbatasan pemilikan HP/gadget/smartphone dan pengoperasiannya
2. Keterbatasan daya beli kuota data
Dua hal di atas sedikitnya tergambar dari percakapan saya dengan si ibu tadi. Di satu sisi, kita melihat kesungguhan untuk mengikuti pembelajaran, dan di sisi lain ada hambatan yang menghalangi kesemangatan itu.
Walaupun ada sejumlah hambatan, the show must go on, pembelajaran walau secara daring harus tetap dilakukan, ketika tatap muka tidak diizinkan.
Ide-ide kreatif untuk menyiasati hambatan-hambatan di atas bermunculan. Seperti di sekolah kami, dan juga mungkin di sekolah lain, ada sejumlah “jurus” yang dilakukan. Misal:
- Siswa tidak memiliki HP Android, maka solusinya dengan pesan singkat, telepon, atau ikut kepada teman yang memiliki., dan informasi penugasan dan lain sebagainya bisa diakses melalui website resmi sekolah.
- Bagi yang memiliki smartphone, jalur pembelajaran daring tidak dilakukan hanya dengan satu mode, namun dengan memanfaatkan beberapa layanan seperti WhatsApp, Google Classroom, Zoom, dan Facebook.
- Bagi guru yang belum memahami teknis pembelajaran online, diadakan In House Training (IHT), dan langkah selanjutnya diadakan beberapa kali simulasi penerapannya.
Idealisme penerapan pembelajaran daring, belum sesuai dengan kenyataan. Namun, sedikit demi sedikit langkah yang diambil semua insan pendidikan untuk menyongsong era baru digitalisasi dalam pembelajaran, adalah ikhtiar yang cemerlang.
Bukankah bisa itu awalnya karena dipaksa?
Semoga kita bisa mempersembahkan pendidikan yang terbaik untuk generasi bangsa, seberat apapun halangan dan rintangannya.