3 Puisi Terbaru Muhasabah Diri, antara Hujan, Hati, dan Kekuatan Kata
Bagi seorang penyair, untaian kata adalah senjata. Bagi seorang penyanyi, keindahan suara adalah modal utama. Untuk segala jenis profesi, ada sejumlah potensi unik yang diandalkan.
Tentang puisi, siapapun pernah mengenal, bahkan bisa menjadi media mencurahkan perasaan, menjadi wewakil mulut yang kelu untuk berkata-kata, atau bahkan ketika zaman pergerakan dulu, puisi bisa menjadi alat agitasi politik untuk menggugat kesombongan rezim. WS Rendra contohnya, dengan segenap puisi politis untuk melawan kezaliman.
Beda dengan puisi-puisi di bawah ini, karya seorang pengemban dakwah, bernuansa muhasabah diri di antara hantaman ketidakbenaran dan kezaliman.
Selamat membaca dan menyelami maknanya.
Karena Kata Adalah Mantra
Aku berdiri membatu di balik dinding kelas, membohongi diriku sendiri bahwa engkau telah pergi, kupandangi langit-langit kelas, mendustai airmata yang sudah tumpah
Bayangan masa lalu itu mewujud di meja-meja kosong, lengkap dengan keriuhan di koridor-koridor kelas, itulah sisa kenangan yang tak sempat kau bawa
Di tangga terakhir dekat pintu gerbang, tempat tiap harinya aku menantimu, untuk melihatmu, yang aku anggap itu adalah mengantarmu pulang tiap harinya
Mereka bilang aku bodoh, menganggap bahwa kenyataan itu sama dengan kisah khayal purbakala. Mereka bilang aku lelaki yang terjerat cerita lalu, terhanyut rasa
Perpisahan kita adalah hal yang sudah tertulis sebelum bumi, agar kita belajar, agar kita sadar, berdamai dengan rindu, bersahabat dengan asa. Agar kita percaya
Orang bisa berkata, namun kita yang punya cerita. Yang mereka lupa, mencintai itu tentang pelaku, tentang aku. Sedang engkau hanyalah objeknya
Cinta yang terbiasa, tak perlu alasan, tak peduli bantahan. Anganku berkelana diluar batasan yang dibuat manusia, kepada keluasan yang hanya dibatasi pemilik jiwa
Begitulah kasih mengubah kata menjadi mantra, "Tungguin ya", adalah kata terakhir yang terucap, mengubah tiap ragu menjadi lagu, yang mengalun memantik hasrat
Lalu untuk selamanya, kemungkinan menjadi tidak penting, dan waktu tak lagi perlu dihitung. Sebab janji adalah janji. Yang perlu aku pastikan adalah diriku, bukan dirimu
Pengganggu Hati
Sampai pagi ini, aku mencoba mendaftar, kebaikan apa yang bisa dihantarkan oleh kasarnya lisan? Buruknya perilaku, atau mengabaikan manusia yang seharusnya kita cintai
Lalu aku mencoba bertanya pada dalamnya hati, kasarnya lisan itu, apakah ia memberikan hantaran hidayah pada mereka yang aku cintai, ataukah sekedar kepuasan diri?
Lebih jauh lagi, lebih pantas mana kata-kata kasar itu aku tujukan? Sebab bisa jadi itu lecutan buat jiwaku yang lemah, tapi bisa jadi itu pemutus asa bagi mereka yang aku cinta
Bukan tak bisa, aku hanya tak ingin mereka katakan bahwa guru-guru yang mengajariku tak memiliki adab. Aku juga tak ingin Rasulullah Muhammad dianggap kasar
Sebab bila ada kebaikan pada kata-kata yang kasar. Tentu Nabi Muhammad sudah mencontohkannya pada kita. Tapi sebagian besar hidupnya, berlemah lembut nan ranggi
Marah karena Allah itu wajib. Tapi itu jauh berbeda dengan memilih kata-kata yang meracuni. Memaki itu memuaskan diri, tapi tak pernah akan diterima siapapun juga
Sedang hati manusia itu mudah mengingat dan sulit terlupa. Kita pikir kita menjadi penghantar kebaikan, tapi bisa jadi kitalah penghalang yang nyata-nyata
Pantas Rasulullah berpesan, menjadi Muslim berarti memiliki kendali atas lidahnya, dan tangannya. Mahabenar Rasulullah, dulu orang memaki dengan lidah, sekarang dengan tangan
Andai lisan kita tak mampu menunjuki, janganlah dipakai untuk menyakiti. Andai tangan kita tak mampu memperbaiki, maka jangan sampai menuliskan caci-maki
Tak ditambah oleh kelembutan kecuali akan menghiasinya, tak hadir oleh kekasaran kecuali kerusakan. Aku hanya berharap Allah lembut kepadaku, maka aku berlembut pada mereka
Yang Tak Dikatakan Oleh Hujan
Aku menyukai hujan, perlukah aku memiliki alasan? Atas orkestra tiap rintik yang mengenai bumi, atau semerbak wangi yang mengawani bunyinya
Hujan tak pernah pilih kasih, adalah tanah yang memilih-milih, yang berpasir menampiknya, yang berbatu menampungnya, hanya yang gembur menyambut dan memanfaatkannya
Yang diturunkan air, yang dimunculkan kehidupan. Air itu menetap sementara sebelum kembali lagi dalam wujud awan. Sementara angin adalah wali penjaganya
Kadang ia datang pelan di awal tapi derasnya di akhir, atau sebaliknya, atau bahkan tak terduga. Tapi datangnya adalah kebahagiaan, datangnya adalah keberkahan
Suaranya menenangkan, alirannya menghidupi, redanya membawa warna, ketetapannya memberi keindahan. Hujan tak henti-henti menakjubkan diriku
Dulu aku membenci mendung, kegelapannya mengintimidasi, mencabut semua harapan. Sebelum aku tahu, gelap awan itu bentuk rindu, yang mencurahkan cinta pada bumi
Aku melihat kilatnya, aku melihat petirnya, adalah mataku yang salah. Aku melupakan yang disembunyikan, yang hanya hatiku yang mampu mengetahuinya
Datangnya tak dirindu, perginya tak disesali. Bukan karena apapun, tapi karena kerasnya hati yang masih perlu waktu untuk mengajarnya, untuk memahami
Aku menyukai hujan, dan aku selalu mencari alasannya. Baru aku sadari setelah sedemikian lama. Engkau bagiku layaknya hujan.