Kerudung Bukan Jilbab, Jilbab Bukan Kerudung
ALHAMDULILLAH, jujur harus kita akui, bahwa secara kuantitatif semangat kaum Muslimah untuk berjilbab semakin menunjukkan tren yang terus meningkat. Barangkali setiap hari kita menyaksikan puluhan atau mungkin ratusan Muslimah—paling tidak di negeri ini—yang menemukan kesadaran baru dalam keberagamaan mereka. Mereka lalu memutuskan untuk mengubah tatacara berpakaian dan berpenampilannya dengan berbusana Muslimah.
Namun demikian, sayang sekali, tak sedikit dari mereka yang tetap tidak berubah pemahamannya tentang busana Muslimah yang memenuhi standar syar’i. Kebanyakan masih ‘ikut arus’ atas nama tren dan mode yang kadang jauh dari kesan syar’i. Akibatnya, berusaha tampil keren dan trendi kadang lebih diutamakan daripada harus memenuhi tatacara berbusana Muslimah yang syar’i.
Dalam pembicaraan sehari-hari, misalnya, umumnya masyarakat masih menganggap jilbab sama dengan kerudung. Anggapan ini keliru. Akibatnya, di kalangan Muslimah sendiri banyak yang merasa sudah berjilbab, padahal yang baru dia kenakan hanyalah kerudung. Padahal jilbab berbeda dengan kerudung.
Jilbab adalah busana bagian bawah kepala (al-libas al-adna) berupa jubah atau gamis, yaitu baju longgar terusan yang menutupi seluruh tubuh wanita yang dipakai di atas baju rumahan (semisal daster).
Adapun kerudung dalam al-Quran sendiri diistilahkan dengan khimar. Kerudung adalah busana bagian atas (al-libas al-a’la), yaitu penutup kepala (Lihat: Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 124 & 151; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, II/279 & 529).
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain yang biasa tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khimar. Khimar (kerudung) adalah apa saja yang dapat menutupi kepala (ma yughaththa bihi ar-ra`su) (Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, XIX/159; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, VI/46; Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, VI/65).
Kesimpulannya, jilbab bukanlah kerudung, melainkan pakaian menyerupai jubah atau gamis bagi perempuan yang wajib dipakai dalam kehidupan publik. Karena itu, anggapan bahwa jilbab sama dengan kerudung adalah keliru.
Kekeliruan ini boleh jadi disebabkan oleh faktor tradisi atau budaya. Artinya, sejak awal kebanyakan masyarakat Muslim, khususnya kaum Muslimah, memahami secara keliru jilbab ini sehingga menyamakannya dengan kerudung.
Pemahaman ini berlangsung secara terus-menerus selama puluhan tahun. Padahal seharusnya mereka mengembalikan makna jilbab dan kerudung (khimar) ini ke makna aslinya sebagaimana yang djmaksud oleh nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir dan para fuqaha (ahli fikih).
Namun demikian, sayang sekali, tak sedikit dari mereka yang tetap tidak berubah pemahamannya tentang busana Muslimah yang memenuhi standar syar’i. Kebanyakan masih ‘ikut arus’ atas nama tren dan mode yang kadang jauh dari kesan syar’i. Akibatnya, berusaha tampil keren dan trendi kadang lebih diutamakan daripada harus memenuhi tatacara berbusana Muslimah yang syar’i.
Dalam pembicaraan sehari-hari, misalnya, umumnya masyarakat masih menganggap jilbab sama dengan kerudung. Anggapan ini keliru. Akibatnya, di kalangan Muslimah sendiri banyak yang merasa sudah berjilbab, padahal yang baru dia kenakan hanyalah kerudung. Padahal jilbab berbeda dengan kerudung.
Jilbab adalah busana bagian bawah kepala (al-libas al-adna) berupa jubah atau gamis, yaitu baju longgar terusan yang menutupi seluruh tubuh wanita yang dipakai di atas baju rumahan (semisal daster).
Adapun kerudung dalam al-Quran sendiri diistilahkan dengan khimar. Kerudung adalah busana bagian atas (al-libas al-a’la), yaitu penutup kepala (Lihat: Rawwas Qal’ah Ji, Mu’jam Lughah Al-Fuqaha, hlm. 124 & 151; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, II/279 & 529).
Jilbab (gamis/jubah) dan kerudung (khimar) wajib dipakai oleh seorang Muslimah dewasa saat keluar rumah. Ini sebagaimana ditunjukkan oleh al-Quran dalam dua surat yang berbeda.
Dalil Kewajiban Berjilbab
Mengenai jilbab, Allah SWT berfirman:
يٰٓأَيُّهَا النَّبِىُّ قُل لِّأَزْوٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلٰبِيبِهِنَّ ۚ ذٰلِكَ أَدْنٰىٓ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan wanita-wanita Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Ahzab [33]: 59).
Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam asy-Syaukani, misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran para mufassir tentang jilbab. Beliau sendiri berpendapat jilbab adalah busana yang lebih besar/luas daripada kerudung (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, VI/79).
Mengutip pendapat Al-Jauhari, penulis Kamus Ash-Shihah, jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qina’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami’a badan al-marah).
Menurut Imam Qurthubi, dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh perempuan (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XIV/243).
Alhasil, jilbab itu bukanlah kerudung. Jilbab adalah pakaian panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung/jubah/gamis/abaya (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan.
Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan) karena hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah SWT (artinya): “mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 45-46).
Jilbab inilah busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum oleh seorang Muslimah, seperti di jalan, di pasar di kampus dan tempat-tempat umum lainnya.
Adapun dalam kehidupan khusus, seperti di dalam rumah, jilbab tidaklah wajib dipakai seorang Muslimah. Yang wajib bagi perempuan Muslimah adalah menutup auratnya—yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, kecuali kepada suami atau para mahram-nya (lihat QS an-Nur [24]: 31)—dengan busana apapun, tanpa harus berjilbab.
Dalil Kewajiban Berkerudung
Adapun terkait kerudung (khimar), Allah SWT berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذٰلِكَ أَزْكٰى لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ
Menurut Imam Qurthubi, dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh perempuan (Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, XIV/243).
Alhasil, jilbab itu bukanlah kerudung. Jilbab adalah pakaian panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung/jubah/gamis/abaya (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan.
Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan) karena hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah SWT (artinya): “mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh (Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hlm. 45-46).
Jilbab inilah busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum oleh seorang Muslimah, seperti di jalan, di pasar di kampus dan tempat-tempat umum lainnya.
Adapun dalam kehidupan khusus, seperti di dalam rumah, jilbab tidaklah wajib dipakai seorang Muslimah. Yang wajib bagi perempuan Muslimah adalah menutup auratnya—yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, kecuali kepada suami atau para mahram-nya (lihat QS an-Nur [24]: 31)—dengan busana apapun, tanpa harus berjilbab.
Dalil Kewajiban Berkerudung
Adapun terkait kerudung (khimar), Allah SWT berfirman:
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذٰلِكَ أَزْكٰى لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُونَ
Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain yang biasa tampak pada dirinya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka (QS an-Nur [24]: 31).
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khimar. Khimar (kerudung) adalah apa saja yang dapat menutupi kepala (ma yughaththa bihi ar-ra`su) (Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, XIX/159; Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim, VI/46; Ibn al-‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, VI/65).
Kesimpulannya, jilbab bukanlah kerudung, melainkan pakaian menyerupai jubah atau gamis bagi perempuan yang wajib dipakai dalam kehidupan publik. Karena itu, anggapan bahwa jilbab sama dengan kerudung adalah keliru.
Kekeliruan ini boleh jadi disebabkan oleh faktor tradisi atau budaya. Artinya, sejak awal kebanyakan masyarakat Muslim, khususnya kaum Muslimah, memahami secara keliru jilbab ini sehingga menyamakannya dengan kerudung.
Pemahaman ini berlangsung secara terus-menerus selama puluhan tahun. Padahal seharusnya mereka mengembalikan makna jilbab dan kerudung (khimar) ini ke makna aslinya sebagaimana yang djmaksud oleh nash-nash al-Quran dan as-Sunnah. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh para mufassir dan para fuqaha (ahli fikih).
Artikel #JilbabSERIES bersama Ustadz Arief B. Iskandar
(Khadim Majelis An-Nahdhah al-Islamiyah).
(Khadim Majelis An-Nahdhah al-Islamiyah).