Hukum Memisahkan Tamu Pria dan Wanita dalam Walimah Pernikahan
Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum memisahkan tamu pria dan wanita dalam walimah yang diajukan seorang sahabat Rahadian Rihadi. Sebuah pertanyaan yang menggenapi pertanyaan serupa, apakah Islam mengatur posisi tamu dalam walimah pernikahan? Sebagai agama sempurna, masalah ini tentu ada jawabannya.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita membaca secara cermat penuturan Ustadz M. Shiddiq Al Jawi, yang dimuat di Tabloid Media Umat Edisi ke-163 lalu.
Pemisahan (infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah WAJIB hukumnya menurut syariah Islam. Dengan kata lain, dalam walimah HARAM hukumnya terjadi ikhtilath (campur baur pria wanita), yakni adanya pertemuan (ijtima”) dan interaksi antara pria dan wanita di satu tempat. ( Lihat : Sa’id Al Qaththani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa, hal.7)
Wajibnya pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah didasarkan pada dua alasan:
Pertama, adanya hukum umum yang MEWAJIBKAN pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan, apartemen, kamar hotel, dsb), maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan raya, pasar, mal, sekolah, kampus, pantai, dsb).
Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di pantai, dan sebagainya. Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu tempat, misalnya di rumah, di gedung, aula, hotel, dan sebagainya, (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36).
Kedua, tidak terdapat dalil syariah dari Al Qur’an dan As Sunah yang mengecualikan walimah dari hukum tersebut, yaitu wajibnya memisahkan tamu pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah yang membolehkan terjadinya ikhtilath antara pria dan wanita dalam acara walimah. Maka haram hukumnya terjadi ikhtilath dalam acara walimah. ( Taqiyuddin An nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).
Hukum umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya:
1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat berjamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. ( HR Bukhari no 373, dari Anas Bin Malik);
2) Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk keluar masjid terlebih dahulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para pria. (HR Bukhari No 828, dari Ummu Salamah);
3) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dan jamaah wanita ( dilaksanakan pada hari yang berbeda) (HR Bukhari No 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain semisalnya, dapat disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum dan kehidupan khusus. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada saat walimah sehingga walimah wajib ada pemisahan tamu pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36)
Hanya saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika terdapat dalil syariah yang mengecualikannya.
Dalil ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu :
1) Menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan syariah;
2) Pelaksanaan kebutuhan syar’i itu mengharuskan pertemuan pria dan wanita.
Maka jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria tersebut, barulah hukum umum tersebut berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal), lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtima’) di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun disertai ikhtilath (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36).
Dalam kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilath dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya HARAM. ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al Hukmiyyah, hal. 333-335). Wallahu a’lam.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita membaca secara cermat penuturan Ustadz M. Shiddiq Al Jawi, yang dimuat di Tabloid Media Umat Edisi ke-163 lalu.
Pemisahan (infishal) tamu pria dan wanita dalam walimah WAJIB hukumnya menurut syariah Islam. Dengan kata lain, dalam walimah HARAM hukumnya terjadi ikhtilath (campur baur pria wanita), yakni adanya pertemuan (ijtima”) dan interaksi antara pria dan wanita di satu tempat. ( Lihat : Sa’id Al Qaththani, Al Ikhtilath Baina Ar Rijal wa An Nisaa, hal.7)
Wajibnya pemisahan tamu pria dan wanita dalam walimah didasarkan pada dua alasan:
Pertama, adanya hukum umum yang MEWAJIBKAN pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (seperti di rumah, kos-kosan, apartemen, kamar hotel, dsb), maupun dalam kehidupan umum (seperti di jalan raya, pasar, mal, sekolah, kampus, pantai, dsb).
Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti shalat jamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, piknik di pantai, dan sebagainya. Termasuk keumuman hukum ini adalah walimah di suatu tempat, misalnya di rumah, di gedung, aula, hotel, dan sebagainya, (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36).
Kedua, tidak terdapat dalil syariah dari Al Qur’an dan As Sunah yang mengecualikan walimah dari hukum tersebut, yaitu wajibnya memisahkan tamu pria dan wanita. Dengan kata lain, tidak terdapat dalil syariah yang membolehkan terjadinya ikhtilath antara pria dan wanita dalam acara walimah. Maka haram hukumnya terjadi ikhtilath dalam acara walimah. ( Taqiyuddin An nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, 1/321-322).
Hukum umum wajibnya pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya:
1) Rasulullah SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat berjamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. ( HR Bukhari no 373, dari Anas Bin Malik);
2) Rasulullah SAW memerintahkan para wanita untuk keluar masjid terlebih dahulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para pria. (HR Bukhari No 828, dari Ummu Salamah);
3) Rasulullah SAW telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dan jamaah wanita ( dilaksanakan pada hari yang berbeda) (HR Bukhari No 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36)
Berdasarkan dalil-dalil tersebut dan dalil-dalil lain semisalnya, dapat disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum dan kehidupan khusus. Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada saat walimah sehingga walimah wajib ada pemisahan tamu pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36)
Hanya saja, hukum umum tersebut dapat dikecualikan jika terdapat dalil syariah yang mengecualikannya.
Dalil ini harus memenuhi dua kriteria, yaitu :
1) Menunjukkan adanya kebutuhan (hajat) yang dibenarkan syariah;
2) Pelaksanaan kebutuhan syar’i itu mengharuskan pertemuan pria dan wanita.
Maka jika ada dalil yang memenuhi dua kriteria tersebut, barulah hukum umum tersebut berubah, yakni yang semula pria dan wanita wajib terpisah (infishal), lalu menjadi boleh ada pertemuan (ijtima’) di suatu tempat, baik pertemuan itu tetap disertai pemisahan (infishal) seperti shalat jamaah di masjid, maupun disertai ikhtilath (campur baur), seperti pelaksanaan manasik haji dan jual beli. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’I fi Al Islam, hal. 36).
Dalam kasus walimah, tidak terdapat dalil yang mengecualikan hukum umum yang mewajibkan adanya pemisahan antara pria dan wanita. Dengan kata lain, ikhtilath dalam walimah adalah suatu pelanggaran syariah yang hukumnya HARAM. ( Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 45/242; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Al Thuruq Al Hukmiyyah, hal. 333-335). Wallahu a’lam.