Cerpen Kursi Roda Untuk Ibuku Karya Annisa Pramuditha
Namaku Nurasih, biasa disebut Asih. Umurku baru menginjak 12 tahun. Aku tinggal bersama ayah dan ibuku, di sebuah gubuk di daerah tempat pembuangan sampah. Ibuku lumpuh karena kecelakaan yang menimpanya dua tahun yang lalu. Ketika itu, ibu hendak membelikan kado untuk ulang tahunku. Namun, nasib malang menimpanya.
Ketika itu “Busway” yang datang dari arah berlawanan tiba-tiba oleng dan menghantam becak yang sedang ibu tumpangi. Becak terlempar jauh dari tempat kejadian. Kaki ibuku patah dan harus segera diamputasi. Dengan biaya yang tak cukup, namun akhirnya seorang dermawan membantu membiayai semua perawatan ibu.
Dokter yang mengamputasi ibu menyarankan untuk membeli kursi roda. Namun, sampai sekarang kami belum bisa membelinya. Aku berharap di suatu saat nanti, yaitu bertepatan pada hari ulang tahun ibu, aku dapat membelikan kursi roda itu untuknya.
Di suatu siang, terik mentari menghantam tubuhku, namun aku pantang menyerah untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuh hadiah di hari spesial ibuku itu. ”Dan aku akan segera membelinya” gumamku. Pekerjaan yang aku lakukan hanya bernyanyi dengan irama tepukan tangan di bawah panasnya matahari, polusi, dan bisingnya suara klakson. Tapi itu sudah biasa bagiku, dan tak ada yang perlu aku keluhkan. Toh aku masih punya Allah yang Maha Kuasa yang selalu menemani hari-hariku. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah merubah hidupku, menjadi lebih baik, dan tetap dapat bersama degan kedua orang tuaku.
Pukul duabelas siang, aku harus pulang dan segera membantu ibu. Ayah memang tak bisa menemani ibu sepenuhnya dirumah. Ayah memiliki pekerjaan mulia setiap harinya, yaitu memilah dan melilih sampah yang ada di sepanjang jalan. Yah lumayan, jika dijual 1 kg-nya dapat mencapai Rp. 4000. Pencapaian hasilku mengamen tiap harinya dapat mencapai 10-20 ribu rupiah.
Jika dihitung-hitung penghasilan aku dan ayah jika disatukan, toh lumayan untuk membeli makanan dan juga menambah uang tabungan untuk membeli kursi roda ibu. Aku dan ayah memang bekerja sama untuk membelikan ibu kursi roda yang nantinya dapat ibu pakai untuk berkeliling melihat indahnya alam di luar sana.
Di sela-sela “kesibukanku” bekerja, kusempatkan untuk belajar bersama teman-teman seperjuanganku. Meski bukan di sekolah, namun belajar dengan kebersamaan ini dapat menambah semangatku untuk tetap berusaha belajar , bekerja, dan menjalani hidup. Dengan mereka akupun dapat merasakan kebahagiaan dan rasa saling menghargai. Tahu arti sebenarnya hidup, dan tak pantang menyerah dalam menjalaninya. Dan jika kami sukses nanti, kami akan tunjukan pada dunia bahwa kami anak jalanan juga dapat setara dengan orang-orang berada di luar sana.
Seolah mendengar petir di siang bolong ketika tersiar kabar yang mengatakan bahwa tempat kami tinggal akan digusur. Hati gelisah tak menentu. Entah nantinya kami akan tinggal di mana, yang pasti mulai esok hari kami harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang mempunyai banyak sejarah bagi kami, tempat dimana au dilahirkan, hidup bahagia bersama orangtuaku. Tapi apalah dayaku untuk melawan mereka yang hendak menggusur tempat tinggal kami. Aku hanyalah orang biasa, dan tak mampu menentang semuanya. Kami sekeluarga hanya bisa bermohon kepada Allah untuk terbebas dari masalah ini...
Malam itu malam terakhir kami berkumpul di tempat itu. Aku dan ayah mulai mengemas pakaian ke dalam dus-dus bekas dan entah akan pergi kemana. ”Kita harus sabar dalam menjalani hidup ini Nak! Kita memanglah orang yang tak mampu, tapi mungkin suatu saat nanti kemampuan kau akan melebihi orang-orang di luar sana. Ingatlah! Kita harus tetap berserah diri kepaa Allah. Bagaimna pun juga Allah-lah yang telah menciptakan dan mengurus hidup kita sampai saat ini”, kata ayahku. ”Benar Nak kata ayahmu itu. Hidup bukan untuk disesali, tapi untuk di syukuri. Jika kamu telah sukses nanti, kamu tidak boleh menyombongkan diri, karna semua itu hanyalah milik Allah, dan semua itu akan kembali kepadanya”, sambung ibuku.
Hati bergetar mendengar perkataan ayah dan ibuku. Aku bersyukur Allah telah mengirimkan dua malaikat tanpa sayap yang begitu perhatiannya padaku. Aku janji suatu saat nanti aku pasti bisa membuat mereka bangga. Terima kasih ayah, ibu atas nasehatnya. Akan kupegang teguh perkataan ayah dan ibu. Dan akan kubuktikan di kehidupan sukses kelak” ucapku terharu.
Matahari mulai terbit dari ufuk timur. Hari ini adalah hari di mana aku dan orang tuaku terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal kami ini, tempat berjuta kenangan, walau penuh kesederhanaan. Rasa terpaksa terselubung di dalam benak, memang kita harus bersabar dalam menjalani hidup. Namun, sudahlah...dengan kekesalan ini tak akan bisa mengubah segalanya toh. Entahlah sekarang kami harus pergi kemana, menelusuri trotoar yang sempit, melewati jajaran pedagang kaki lima yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Setelah sekian lama dan jauhnya perjalanan yang kami tempuh, tak terasa adzan Maghrib mulai berkumandang. Kami bergegas menuju mushola yang tak jauh dari jalan raya. Kami bersimpuh di hadapan-Nya, mencurahkan segala kesulitan yang dihadapi.
Perjalanan kami lanjutkan, hingga akhirnya menemukan “tempat tinggal” bagi kami. Tepatnya di pinggir rel kereta api, ada sebuah gubuk yang terbuat dari tumpukan dus dan karung-karung bekas. Memang tempat yang tak layak jika di pikirkan. Namun, kami sudah terbiasa dengan tempat seperti ini.
Tak terasa sudah satu minggu kami tinggal di sini. Siang ini cuaca cerah, matahari seperti biasa “menyapa” alam dengan “senyuman” yang khas. Seperti hari-hari biasa, aku menjalaninya dengan mengamen untuk mengais rezeki. Tapi...Kenapa ya..koq perasaanku gelisah, gundah, dan selalu terbayang wajah ayah. Jangan-jangan ayah....Ah, sudahlah..aku membuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Mungkin ini hanya kerinduan saja, aku terus saja melanjutkan aktivitasku.
Dari kejauhan, aku melihat kerumunan orang yang mengelilingi “sesuatu”. “Ada apa yah?” gumamku penasaran. Aku berlari mendekati tempat itu. ”Permisi.. permisi!” kataku. Kulihat sesosok jasad terbujur kaku, darah bercucuran di mana-mana. Dan ternyata, sesosok jasad itu jasad ayahku.
“Allahu akbar!” Aku tak kuasa menahan derasnya air mata yang mengalir di pipiku. Entah berapa lama aku berdiam diri melihat jasad ayahku yang terbaring lemah dan tak berdaya.”Ayaaahh.. jangan tinggalkan aku dan ibu, ayaah” teriakku. Menurut saksi mata, ayah tertabrak kereta yang hendak melintas. Ayah tak mendengarnya, memang ayahku sedikit memiliki gangguan telinga. “Ayah, begitu cepatnya kau berpulang. Aku, dan engkau memiliki harapan untuk membelikan ibu sebuah kursi roda”.
Memang kami harus menerima kenyataan yang ada, namun tetap saja kesedihan melandaku dan juga ibu. Kami hanya bisa berdoa semoga ayah di tempatkan di sisi Allah dan bahagia di akhirat sana. Aku sedih sekali, namun aku tak boleh menyerah, aku harus tetap berusaha membahagiakan ibu meski kini ayah tak lagi ada di antara kami. Tekadku, aku harus semakin bersemangat bekerja dan belajar agar aku dapat membuktikan pada ibu dan almarhum ayah, bahwa aku bisa menjadi wanita hebat yang seperti ayah dan ibu katakan dahulu.
Hari ini, angin membelai bunga-bunga yang di halaman rumahku. Burung-burung bernyanyi dan beterbangan dengan riang gembira seperti yang aku rasakan sekarang. Kejadian beberapa tahun yang lalu, merubah semuanya. Merubahku saat ini, menjadi wanita hebat yang seperti ayah dan ibu katakan dulu. Aku menghela nafas lega setelah semua kesulitan, kesedihan, dan kegetiran dapat kulalui. Allah “memberikan” hadiah bagiku. Aku mendapat beasiswa pendidikan dari pemerintah, karena prestasi dan kegigihanku menjalani hidup, mungkin itu alasannya. Semua itu merubah kehidupanku menjadi lebih baik. Terima kasih ya Allah!
Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukan pukul 07.00. Hari ini hari spesial ibuku. Aku bergegas mengambil jaket dan kunci mobil di kamarku, dan berpamitan kepada ibu. Tentu untuk membeli hadiah “rahasia” untuk ibuku tersayang. Inilah saat yang paling bahagia dalam hidupku.
Kupeluk erat-erat tubuhnya yang sudah mulai “sepuh”. “Bu ini aku belikan hadiah spesial untuk ibu. Aku berharap ini dapat berguna bagi ibu”, kataku sambil mencium keningnya. “Terima kasih Nak atas segalanya yang telah kau berikan kepada ibu. Kau adalah anugerah Allah untukku. Kau adalah bidadari kecilku yang sudah tumbuh dewasa. Ibu bangga padamu Nak. Ibu harap kau tetap menjadi bidadari kecilku yang selau berusaha dan tak pantang menyerah dalam menjalani hidup. Meski kau sudah mendapatkan semuanya sekarang.
Sekali lagi terimakasih atas segalanya Nak”, ucap ibuku sambil memelukku. ”Yah ibu, aku pun ucapkan terimakasih untuk ibu atas semua yang sudah ibu perjuangkan untukku. Kau adalah seorang ibu yang baik yang dapat menginspirasi anakmu ini. Semua pengorbananmu untukku takkan pernah kulupakan sampai kapanpun, dan tak akan terbayarkan oleh apapun, terimakasih ibu atas segalanya.”
-----------------------------------
Cerpen Kursi Roda Untuk Ibuku
oleh Annisa Pramuditha, alumni SMAN 1 Mande Cianjur ( Pemenang Lomba Cipta Cerpen Harian Cianjur Ekspres), kini kuliah di Poltekes TNI AU Ciumbuleuit Bandung.
Ketika itu “Busway” yang datang dari arah berlawanan tiba-tiba oleng dan menghantam becak yang sedang ibu tumpangi. Becak terlempar jauh dari tempat kejadian. Kaki ibuku patah dan harus segera diamputasi. Dengan biaya yang tak cukup, namun akhirnya seorang dermawan membantu membiayai semua perawatan ibu.
Dokter yang mengamputasi ibu menyarankan untuk membeli kursi roda. Namun, sampai sekarang kami belum bisa membelinya. Aku berharap di suatu saat nanti, yaitu bertepatan pada hari ulang tahun ibu, aku dapat membelikan kursi roda itu untuknya.
Di suatu siang, terik mentari menghantam tubuhku, namun aku pantang menyerah untuk bekerja dan mengumpulkan uang untuh hadiah di hari spesial ibuku itu. ”Dan aku akan segera membelinya” gumamku. Pekerjaan yang aku lakukan hanya bernyanyi dengan irama tepukan tangan di bawah panasnya matahari, polusi, dan bisingnya suara klakson. Tapi itu sudah biasa bagiku, dan tak ada yang perlu aku keluhkan. Toh aku masih punya Allah yang Maha Kuasa yang selalu menemani hari-hariku. Aku hanya bisa berdoa semoga Allah merubah hidupku, menjadi lebih baik, dan tetap dapat bersama degan kedua orang tuaku.
Pukul duabelas siang, aku harus pulang dan segera membantu ibu. Ayah memang tak bisa menemani ibu sepenuhnya dirumah. Ayah memiliki pekerjaan mulia setiap harinya, yaitu memilah dan melilih sampah yang ada di sepanjang jalan. Yah lumayan, jika dijual 1 kg-nya dapat mencapai Rp. 4000. Pencapaian hasilku mengamen tiap harinya dapat mencapai 10-20 ribu rupiah.
Jika dihitung-hitung penghasilan aku dan ayah jika disatukan, toh lumayan untuk membeli makanan dan juga menambah uang tabungan untuk membeli kursi roda ibu. Aku dan ayah memang bekerja sama untuk membelikan ibu kursi roda yang nantinya dapat ibu pakai untuk berkeliling melihat indahnya alam di luar sana.
Di sela-sela “kesibukanku” bekerja, kusempatkan untuk belajar bersama teman-teman seperjuanganku. Meski bukan di sekolah, namun belajar dengan kebersamaan ini dapat menambah semangatku untuk tetap berusaha belajar , bekerja, dan menjalani hidup. Dengan mereka akupun dapat merasakan kebahagiaan dan rasa saling menghargai. Tahu arti sebenarnya hidup, dan tak pantang menyerah dalam menjalaninya. Dan jika kami sukses nanti, kami akan tunjukan pada dunia bahwa kami anak jalanan juga dapat setara dengan orang-orang berada di luar sana.
Seolah mendengar petir di siang bolong ketika tersiar kabar yang mengatakan bahwa tempat kami tinggal akan digusur. Hati gelisah tak menentu. Entah nantinya kami akan tinggal di mana, yang pasti mulai esok hari kami harus meninggalkan tempat ini. Tempat yang mempunyai banyak sejarah bagi kami, tempat dimana au dilahirkan, hidup bahagia bersama orangtuaku. Tapi apalah dayaku untuk melawan mereka yang hendak menggusur tempat tinggal kami. Aku hanyalah orang biasa, dan tak mampu menentang semuanya. Kami sekeluarga hanya bisa bermohon kepada Allah untuk terbebas dari masalah ini...
Malam itu malam terakhir kami berkumpul di tempat itu. Aku dan ayah mulai mengemas pakaian ke dalam dus-dus bekas dan entah akan pergi kemana. ”Kita harus sabar dalam menjalani hidup ini Nak! Kita memanglah orang yang tak mampu, tapi mungkin suatu saat nanti kemampuan kau akan melebihi orang-orang di luar sana. Ingatlah! Kita harus tetap berserah diri kepaa Allah. Bagaimna pun juga Allah-lah yang telah menciptakan dan mengurus hidup kita sampai saat ini”, kata ayahku. ”Benar Nak kata ayahmu itu. Hidup bukan untuk disesali, tapi untuk di syukuri. Jika kamu telah sukses nanti, kamu tidak boleh menyombongkan diri, karna semua itu hanyalah milik Allah, dan semua itu akan kembali kepadanya”, sambung ibuku.
Hati bergetar mendengar perkataan ayah dan ibuku. Aku bersyukur Allah telah mengirimkan dua malaikat tanpa sayap yang begitu perhatiannya padaku. Aku janji suatu saat nanti aku pasti bisa membuat mereka bangga. Terima kasih ayah, ibu atas nasehatnya. Akan kupegang teguh perkataan ayah dan ibu. Dan akan kubuktikan di kehidupan sukses kelak” ucapku terharu.
Matahari mulai terbit dari ufuk timur. Hari ini adalah hari di mana aku dan orang tuaku terpaksa harus meninggalkan tempat tinggal kami ini, tempat berjuta kenangan, walau penuh kesederhanaan. Rasa terpaksa terselubung di dalam benak, memang kita harus bersabar dalam menjalani hidup. Namun, sudahlah...dengan kekesalan ini tak akan bisa mengubah segalanya toh. Entahlah sekarang kami harus pergi kemana, menelusuri trotoar yang sempit, melewati jajaran pedagang kaki lima yang sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Setelah sekian lama dan jauhnya perjalanan yang kami tempuh, tak terasa adzan Maghrib mulai berkumandang. Kami bergegas menuju mushola yang tak jauh dari jalan raya. Kami bersimpuh di hadapan-Nya, mencurahkan segala kesulitan yang dihadapi.
Perjalanan kami lanjutkan, hingga akhirnya menemukan “tempat tinggal” bagi kami. Tepatnya di pinggir rel kereta api, ada sebuah gubuk yang terbuat dari tumpukan dus dan karung-karung bekas. Memang tempat yang tak layak jika di pikirkan. Namun, kami sudah terbiasa dengan tempat seperti ini.
Tak terasa sudah satu minggu kami tinggal di sini. Siang ini cuaca cerah, matahari seperti biasa “menyapa” alam dengan “senyuman” yang khas. Seperti hari-hari biasa, aku menjalaninya dengan mengamen untuk mengais rezeki. Tapi...Kenapa ya..koq perasaanku gelisah, gundah, dan selalu terbayang wajah ayah. Jangan-jangan ayah....Ah, sudahlah..aku membuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Mungkin ini hanya kerinduan saja, aku terus saja melanjutkan aktivitasku.
Dari kejauhan, aku melihat kerumunan orang yang mengelilingi “sesuatu”. “Ada apa yah?” gumamku penasaran. Aku berlari mendekati tempat itu. ”Permisi.. permisi!” kataku. Kulihat sesosok jasad terbujur kaku, darah bercucuran di mana-mana. Dan ternyata, sesosok jasad itu jasad ayahku.
“Allahu akbar!” Aku tak kuasa menahan derasnya air mata yang mengalir di pipiku. Entah berapa lama aku berdiam diri melihat jasad ayahku yang terbaring lemah dan tak berdaya.”Ayaaahh.. jangan tinggalkan aku dan ibu, ayaah” teriakku. Menurut saksi mata, ayah tertabrak kereta yang hendak melintas. Ayah tak mendengarnya, memang ayahku sedikit memiliki gangguan telinga. “Ayah, begitu cepatnya kau berpulang. Aku, dan engkau memiliki harapan untuk membelikan ibu sebuah kursi roda”.
Memang kami harus menerima kenyataan yang ada, namun tetap saja kesedihan melandaku dan juga ibu. Kami hanya bisa berdoa semoga ayah di tempatkan di sisi Allah dan bahagia di akhirat sana. Aku sedih sekali, namun aku tak boleh menyerah, aku harus tetap berusaha membahagiakan ibu meski kini ayah tak lagi ada di antara kami. Tekadku, aku harus semakin bersemangat bekerja dan belajar agar aku dapat membuktikan pada ibu dan almarhum ayah, bahwa aku bisa menjadi wanita hebat yang seperti ayah dan ibu katakan dahulu.
Hari ini, angin membelai bunga-bunga yang di halaman rumahku. Burung-burung bernyanyi dan beterbangan dengan riang gembira seperti yang aku rasakan sekarang. Kejadian beberapa tahun yang lalu, merubah semuanya. Merubahku saat ini, menjadi wanita hebat yang seperti ayah dan ibu katakan dulu. Aku menghela nafas lega setelah semua kesulitan, kesedihan, dan kegetiran dapat kulalui. Allah “memberikan” hadiah bagiku. Aku mendapat beasiswa pendidikan dari pemerintah, karena prestasi dan kegigihanku menjalani hidup, mungkin itu alasannya. Semua itu merubah kehidupanku menjadi lebih baik. Terima kasih ya Allah!
Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku yang menunjukan pukul 07.00. Hari ini hari spesial ibuku. Aku bergegas mengambil jaket dan kunci mobil di kamarku, dan berpamitan kepada ibu. Tentu untuk membeli hadiah “rahasia” untuk ibuku tersayang. Inilah saat yang paling bahagia dalam hidupku.
Kupeluk erat-erat tubuhnya yang sudah mulai “sepuh”. “Bu ini aku belikan hadiah spesial untuk ibu. Aku berharap ini dapat berguna bagi ibu”, kataku sambil mencium keningnya. “Terima kasih Nak atas segalanya yang telah kau berikan kepada ibu. Kau adalah anugerah Allah untukku. Kau adalah bidadari kecilku yang sudah tumbuh dewasa. Ibu bangga padamu Nak. Ibu harap kau tetap menjadi bidadari kecilku yang selau berusaha dan tak pantang menyerah dalam menjalani hidup. Meski kau sudah mendapatkan semuanya sekarang.
Sekali lagi terimakasih atas segalanya Nak”, ucap ibuku sambil memelukku. ”Yah ibu, aku pun ucapkan terimakasih untuk ibu atas semua yang sudah ibu perjuangkan untukku. Kau adalah seorang ibu yang baik yang dapat menginspirasi anakmu ini. Semua pengorbananmu untukku takkan pernah kulupakan sampai kapanpun, dan tak akan terbayarkan oleh apapun, terimakasih ibu atas segalanya.”
-----------------------------------
Cerpen Kursi Roda Untuk Ibuku
oleh Annisa Pramuditha, alumni SMAN 1 Mande Cianjur ( Pemenang Lomba Cipta Cerpen Harian Cianjur Ekspres), kini kuliah di Poltekes TNI AU Ciumbuleuit Bandung.