Apakah Sama Pengertian Musyabbihah dan Musyabbahah?
Seseorang bertanya tentang arti kata "Musyabbahah" yang ia temukan dalam sebuah hizib/wirid yang ia peroleh dari ustadznya.
Sebelum berpanjang kata dengan kata tersebut, kita pahami juga sebuah kata yang mirip dengan yang pertama, yaitu "musyabbihah". Maka muncullah dua kata yang hampir sama dalam segi bahasanya, "Musyabbahah" dan "musyabbihah".
Pengertian Musyabbihah dan Contoh Pemahamannya
Musyabbihah memiliki nama lain yaitu mujassimah. Siapa kaum musyabbihah ini? Mereka adalah kaum yang dalam menelaah Al-Qur’an dan Hadits dengan tidak mau mengikuti Imam Mazhab yang empat sehingga mereka bermazhab dzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah, berpegang pada nash secara dzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Sehingga kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan itu bertempat dan menyerupai sifat-sifat makhluqnya. Bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa Tuhan itu bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
“…Ayat ini termasuk musykilat (sulit dipahami). Berkaitan dengan ayat musykilat ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok :
Kelompok pertama : Kita membacanya dan mengimaninya, tetapi tidak boleh menafsirkannya.
Kelompok kedua : Kita membacanya dan boleh menafsirkannya sesuai (dzahirnya) bahasa. Ini adalah pendapat AL-MUSYABBIHAH (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
Kelompok ketiga : Kita membacanya dan boleh mentakwilkannya serta mengalihkan maknanya kepada makna yang layak bagi Allah.
Penjelasan yang hampir sama dijelaskan oleh Imam Badaruddin Zarkasy (lahir : 745H – wafat : 794H) menerangkan dalam kitabnya “Al Burhan fi ‘Ulumil Quran”
‘Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran :
1. Golongan pertama yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang dzahir, tidak boleh dita’wilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh firqah Musyabbihah.
2. Golongan kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu mesti dita’wilkan, yaitu dialihkan artinya ke arti lain, tetapi apa “arti lain” itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada Tuhan yang paling mengetahui, tetapi kita tetap mengi’tiqadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adakah aliran Salaf.
3. Golongan ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkankan artinya ke arti lain yang layak bagi Allah. ( Lihat penjelasan rincinya di Firqah Musyabbihah)
Pengertian Shifat Musyabbahat: yaitu sifat yang dibentuk dari Masdar Tsulati Lazim, sebagai penunjukan suatu makna yang menetap pada Maushuf secara tetap.
Contoh:
الصبي فَطِنٌ
ASH-SHOBIYYU FATHINUN = anak itu cerdas
Lafazh FATHINUN adalah shifat Musyabbahah yang diambil dari Mashdar Fi’il Tsulatsi Lazim FATHINA sebagai penunjukan makna FATHAANAH kecerdasan yang menempati pada Maushuf lafazh SHOBIYYUN secara tetap sepanjang waktu bukan sekali-kali.
Berbeda dengan Isim Fa’il yang menjukkan sifat ‘aridhi sekali-kali pada waktu tertentu. contoh:
خالد قائم
KHAALIDUN QAAIMUN = Khalid adalah yang berdiri
Lafazh QAAIMUN disebut Isim Fa’il yaitu sifat yang ‘aridhi tidak tetap sekali-kali orang yang berdiri itu duduk.
Disebutkan oleh Mushannif bahwa tanda-tanda sifat Musyabahat adalah dibenarkannya mengidhafahkan Sifat kepada lafazh yang menjadi Fa’ilnya dalam makna, dan mengamal Jar kepadanya. Contoh:
الحسن الخلق محبوب
AL-HASANUL-KHULUQI MAHBUUBUN = seorang yang baik akhlaknya disenangi.
Asal kalimat adalah:
الحسن خلقه محبوب
AL-HASANU KHULUQUHUU MAHBUUBUN
lafazh KHULUQU dirofa’kan sebagai Fa’il dari lafazh AL-HASANU.
Sedangkan Isim Fa’il dilarang dimudhafkan kepada Fa’ilnya. contoh tidak benar mengatakan:
خالد ضارب الأب عمرا
KHAALIDUN DHAARIBUL-ABI ‘AMRAN = Khalid yang ayahnya memukul kepada Amar.
dengan maksud lafazh AL-ABU menjadi subjek atau Fa’il dari lafazh DHAARIBU, sebab ada wahem/anggapan mudhaf kepada Maf’ulnya. Karena asal kalimat adalah:
خالد ضارب أباه
KHAALIDUN DHAARIBUN ABAAHU = Khalid yang memukul ayahnya.
Contoh kalimat diatas menetapkan bahwa ayah yang dipukul, bukannya Ayah yang memukul. Maka tidak boleh susunan idhafah demikian karena mengakibatkan terjadinya Lubs/kesamaran.
Akan tetapi apabila Isim Fa’il tersebut dibentuk dari Fi’il Tsulatsi Lazim dan menunjukkan ketetapan sifat, maka boleh mengidhofahkannya kepada Fa’ilnya karena sifat yang demikian juga disebut SHIFAH MUSYABBAHAH, contoh:
طاهر القلب مستريح
THAAHURUL-QALBI MUSTARIIHUN = seorang yang suci hatinya adalah seorang yang tenang.
Dan apabila Isim Fa’il tersebut dibentuk dari Fi’il Tsulatsi Muta’addi satu Maf’ul, maka boleh mudhaf pada Fa’ilnya dengan syarat ada qarinah yang mencegah terjadinya lubsun atau keserupaan terhadap mudhaf pada Maf’ulnya, contoh:
محمد راحم الأبناء
MUHAMMADUN RAAHIMUL-ABNAA’I = Muhammad yang anak-anaknya bersifat belas kasih.
Lafazh RAAHIMU dimudhafkan kepada Fa’ilnya lafazh ABNAA’I.
Dimaksudkan adalah bahwa anak-anak keturunan Muhammad mereka panyayang sesama manusia. Biasanya ungkapan sifat seperti pada contoh diucapkan sebagai sanjungan kepada kebaikan keturunan seseorang, atau sebagai jawaban bagi yang mengatakan bahwa keturunannya tidak baik. ( Penjelasan rincinya bisa dibaca di Pengertian Sifat Musyabbahah )
Sebelum berpanjang kata dengan kata tersebut, kita pahami juga sebuah kata yang mirip dengan yang pertama, yaitu "musyabbihah". Maka muncullah dua kata yang hampir sama dalam segi bahasanya, "Musyabbahah" dan "musyabbihah".
Apa perbedaan Musyabbihah dengan Musyabbahah?
Pengertian Musyabbihah dan Contoh Pemahamannya
Musyabbihah memiliki nama lain yaitu mujassimah. Siapa kaum musyabbihah ini? Mereka adalah kaum yang dalam menelaah Al-Qur’an dan Hadits dengan tidak mau mengikuti Imam Mazhab yang empat sehingga mereka bermazhab dzohiriyah yakni berpendapat, berfatwa, beraqidah, berpegang pada nash secara dzohir/harfiah/literal/tertulis/tersurat dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja.
Pada umumnya mereka mengingkari makna majaz (kiasan) atau makna tersirat yakni makna di balik yang tertulis atau makna di balik yang tersurat. Jadi dalam memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, mereka menelan dengan mentah-mentah tanpa berpegang teguh dengan penjelasan para salafunassholih dari kalangan ulama ahlussunnah waljmaah yang jelas lebih mengerti maksud dari perkataan Nabi.
Sehingga kaum Musyabbihah mengatakan bahwa Tuhan itu bertempat dan menyerupai sifat-sifat makhluqnya. Bahkan ada yang lebih ekstrim mengatakan bahwa Tuhan itu bertangan, bermuka, berkaki, bertubuh seperti manusia.
Ada juga orang yang menamakan kaum ini dengan kaum mujassimah yakni kaum yang menubuhkan karena mereka menubuhkan Tuhan, mengatakan Tuhan bertubuh, bermuka, bermata, bertangan, berkaki. Ada juga orang yang menamai mereka dengan kaum Hasyawiyah yang artinya percakapan omong kosong, percakapan di luar batas, percakapan hina dina alias kaum “omong kosong”.
Kaum Musyabbihah atau Mujassimah ini berasal dari orang-orang yang semula bermazhab Hanbali, tetapi Imam Ahmad bin Hanbal tidak berkeyakinan dan tidak beri’tiqod sebagaimana mereka. ( Penjelasan lengkap bisa dilihat di Sejarah Kaum Mujassimah / Musyabbihah)
Contoh pemahaman kaum Musyabbihah/mujassimah tentang ayat mutasyabihat
Imam Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al Jami li Ahkaam Al Qur’an (Tafsir Qurthubi) dalam penafsirannya tentang lafadz “Tsumma ASTAWA” pada QS Al Baqarah : 29 menjelaskan secara ringkas :“…Ayat ini termasuk musykilat (sulit dipahami). Berkaitan dengan ayat musykilat ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok :
Kelompok pertama : Kita membacanya dan mengimaninya, tetapi tidak boleh menafsirkannya.
Kelompok kedua : Kita membacanya dan boleh menafsirkannya sesuai (dzahirnya) bahasa. Ini adalah pendapat AL-MUSYABBIHAH (yang menyerupakan Allah dengan makhluk).
Kelompok ketiga : Kita membacanya dan boleh mentakwilkannya serta mengalihkan maknanya kepada makna yang layak bagi Allah.
Penjelasan yang hampir sama dijelaskan oleh Imam Badaruddin Zarkasy (lahir : 745H – wafat : 794H) menerangkan dalam kitabnya “Al Burhan fi ‘Ulumil Quran”
‘Sesungguhnya telah terjadi perbedaan pendapat dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabih atas 3 aliran :
1. Golongan pertama yang memperlakukan ayat-ayat itu menurut lafazhnya yang dzahir, tidak boleh dita’wilkan sedikitpun. Cara yang begini dianut oleh firqah Musyabbihah.
2. Golongan kedua ialah golongan yang berpendapat bahwa ayat-ayat yang mutasyabih itu mesti dita’wilkan, yaitu dialihkan artinya ke arti lain, tetapi apa “arti lain” itu kita tidak tahu, serahkan saja kepada Tuhan yang paling mengetahui, tetapi kita tetap mengi’tiqadkan bahwa Tuhan itu Maha Suci dari akan menyerupai makhluk dan Maha Suci dari akan tidak mempunyai sifat. Cara yang begini adakah aliran Salaf.
3. Golongan ketiga ialah golongan orang-orang Khalaf yang menta’wilkan ayat-ayat mutasyabih, yaitu mengalihkankan artinya ke arti lain yang layak bagi Allah. ( Lihat penjelasan rincinya di Firqah Musyabbihah)
Pengertian Musyabbahah dan Contoh Penerapannya
Berbeda jauh dengan kata "musyabbihah" yang merujuk kepada suatu firqah, kata " musyabbahah" justru berhubungan dengan tata bahasa Arab.
Contoh:
الصبي فَطِنٌ
ASH-SHOBIYYU FATHINUN = anak itu cerdas
Lafazh FATHINUN adalah shifat Musyabbahah yang diambil dari Mashdar Fi’il Tsulatsi Lazim FATHINA sebagai penunjukan makna FATHAANAH kecerdasan yang menempati pada Maushuf lafazh SHOBIYYUN secara tetap sepanjang waktu bukan sekali-kali.
Berbeda dengan Isim Fa’il yang menjukkan sifat ‘aridhi sekali-kali pada waktu tertentu. contoh:
خالد قائم
KHAALIDUN QAAIMUN = Khalid adalah yang berdiri
Lafazh QAAIMUN disebut Isim Fa’il yaitu sifat yang ‘aridhi tidak tetap sekali-kali orang yang berdiri itu duduk.
Disebutkan oleh Mushannif bahwa tanda-tanda sifat Musyabahat adalah dibenarkannya mengidhafahkan Sifat kepada lafazh yang menjadi Fa’ilnya dalam makna, dan mengamal Jar kepadanya. Contoh:
الحسن الخلق محبوب
AL-HASANUL-KHULUQI MAHBUUBUN = seorang yang baik akhlaknya disenangi.
Asal kalimat adalah:
الحسن خلقه محبوب
AL-HASANU KHULUQUHUU MAHBUUBUN
lafazh KHULUQU dirofa’kan sebagai Fa’il dari lafazh AL-HASANU.
Sedangkan Isim Fa’il dilarang dimudhafkan kepada Fa’ilnya. contoh tidak benar mengatakan:
خالد ضارب الأب عمرا
KHAALIDUN DHAARIBUL-ABI ‘AMRAN = Khalid yang ayahnya memukul kepada Amar.
dengan maksud lafazh AL-ABU menjadi subjek atau Fa’il dari lafazh DHAARIBU, sebab ada wahem/anggapan mudhaf kepada Maf’ulnya. Karena asal kalimat adalah:
خالد ضارب أباه
KHAALIDUN DHAARIBUN ABAAHU = Khalid yang memukul ayahnya.
Contoh kalimat diatas menetapkan bahwa ayah yang dipukul, bukannya Ayah yang memukul. Maka tidak boleh susunan idhafah demikian karena mengakibatkan terjadinya Lubs/kesamaran.
Akan tetapi apabila Isim Fa’il tersebut dibentuk dari Fi’il Tsulatsi Lazim dan menunjukkan ketetapan sifat, maka boleh mengidhofahkannya kepada Fa’ilnya karena sifat yang demikian juga disebut SHIFAH MUSYABBAHAH, contoh:
طاهر القلب مستريح
THAAHURUL-QALBI MUSTARIIHUN = seorang yang suci hatinya adalah seorang yang tenang.
Dan apabila Isim Fa’il tersebut dibentuk dari Fi’il Tsulatsi Muta’addi satu Maf’ul, maka boleh mudhaf pada Fa’ilnya dengan syarat ada qarinah yang mencegah terjadinya lubsun atau keserupaan terhadap mudhaf pada Maf’ulnya, contoh:
محمد راحم الأبناء
MUHAMMADUN RAAHIMUL-ABNAA’I = Muhammad yang anak-anaknya bersifat belas kasih.
Lafazh RAAHIMU dimudhafkan kepada Fa’ilnya lafazh ABNAA’I.
Dimaksudkan adalah bahwa anak-anak keturunan Muhammad mereka panyayang sesama manusia. Biasanya ungkapan sifat seperti pada contoh diucapkan sebagai sanjungan kepada kebaikan keturunan seseorang, atau sebagai jawaban bagi yang mengatakan bahwa keturunannya tidak baik. ( Penjelasan rincinya bisa dibaca di Pengertian Sifat Musyabbahah )
Nah demikian penjelasan singkat perbedaan kata musyabbihah dengan musyabbahah, semoga bermanfaat.