Manusia itu Dinamis, Jangan Mudah Menilai Orang
Malam ini setelah mendengar uraian seorang ustadz tentang “manusia itu dinamis”, saya tetiba tergelitik untuk menulis seperti ini:
Manusia itu dinamis, berubah setiap saat, dan itu pasti. Bisa jadi dia yang kemarin amat sangat baik, hari ini baik, besok nyebelin. Bisa jadi dia yang kemarin nyebelin, hari ini baik, besok jadi amat baik. Bisa jadi dia yang kemarin baik, hari ini baik, besok istiqamah tetep baik. Atau, ada juga yang kemarin nyebelin, hari ini nyebelin, besok nya juga sama aja.
Jadi apa? Jadi, jangan mudah menilai orang. Kita tak ada hak untuk melakukan itu. Ingat, manusia itu dinamis.
Ya maunya mah bisa begitu, tapi da susah. Kalo udah seneng ya seneng, kalo udah sebel ya sebel
Ini obrolan imajiner. Seolah-olah saya sedang berhadapan dengan seorang Bapak, yang subhanalloh, begitu tenang pembawaannya, lembut dan teratur perkataannya, walau he..he.. kadang-kadang membentak juga. Ceritanya begini :
Entah, biasanya saya akan langsung memposting segala tulisan yang menurut saya layak tayang. Tapi, kala itu saya merasa tulisan ini terlalu receh. Saya butuh masukan agar tulisan di atas menjadi lebih berbobot. Melayanglah rangkain aksara itu ke HP si Bapak. Dan balasannya masyaAllah… banyak dan nampol seperti biasa.
Si Bapak memulai dengan cerita tentang Umar bin Khattab, seorang yang paling keras menentang dakwah Rasulullah, yang tidak segan menyiksa budak, berani dan siap menghabisi nyawa Rasulullah. Lalu Allah hantarkan hidayah padanya melalui sang adik. Umar lalu bersyahadat di hadapan Rasul, di depan para sahabat yang sudah barang tentu takut, tidak suka, bahkan benci pada Umar.
“Bagaimana caranya sahabat bisa menerima Umar? Bagaimana perasaan mereka saat mengetahui penentang dakwah Rasul paling utama ini malah menjadi salah satu sahabat yang dekat dengan Rasul?” Si Bapak lalu bertanya pada kami.
“Karena extraordinary love seperti yang dijelaskan Ali pada Husein.” Di saat otak saya masih mencerna apa yang disampaikan oleh si Bapak. Teman saya gesit menjawabnya.
“Betul.” Si Bapak mengacungkan jari virtualnya. “Kalo masih gampang ngerasa sebel sama orang, masih suka sebel permanen walau orangnya sudah berubah jadi lebih baik, atau malah suka permanen walau yang disukai melakukan banyak keburukan, itu artinya kita masih menggantungkan cinta kepada makhluk, masih ketipu dengan apa yang melekat pada makhluk.”
Baru sampai situ saja, saya dan si teman itu sudah bersiap melayangkan jempol, salut dengan penjelasannya.
“Standar persaudaraan muslim adalah iman. Standar kesempurnaan iman seorang mukmin adalah ketika dia dapat mencintai saudaranya seperti mencintai diri sendiri. Abdillah itu, melihat dan menilai sesuatu sesuai dengan standar yang Allah mau.”
Pembicaraan berlanjut pada pembahasan tentang jarak, sisi, dan sudut pandang. Selama orang melihat sesuatu dari jarak/sisi/sudut pandang yang berbeda, selama itu pula apa yang dia definisikan berbeda dengan yang ada di fikiran kita.
Seperti melihat sebuah botol, akan berbeda definisi dari sebelah kanan, kiri, atas, bawah, depan, dan belakang. Beda, namun tidak salah. Dinyatakan benar selama definisinya tetap ‘botol’. Itulah pentingnya kepekaan untuk dapat menerawang, membayangkan melihat sesuatu di luar dari posisi kita. Biar apa? Biar gak sebel permanen. Biar gak suka permanen. Kalo Ustadz bilang “lihat orang seperti apa adanya”.
Kesimpulan :
Demikianlah, karena manusia dinamis, bisa beranjak dari suatu keadaan ke keadaan lainnya, maka tidaklah elok jika kita menilai bahkan men-justice negatif apa yang menjadi fenomena di diri seseorang saat ini.
Semoga bermanfaat,
www.abufadli.com